Sore, 5 September 2019, Aksi Kamisan yang ke 600 kalinya digelar di depan istana negara. Artinya sudah 600 minggu ibu Maria Sumarsih bersama dengan keluarga korban, seperti biasa pada pukul 15.00-17.00 WIB, masih eksis berpayung hitam menanti keadilan dari bilik tembok istana sang raja.
Para generasi muda bangsa ini dengan dresscode kaos hitam turut aktif bersolidaritas, berdiri, dan menagih janji-janji penuntasan pelanggaran HAM berat. Baik di masa lalu maupun yang hari-hari ini terang benderang terjadi.
Bu Sumarsih memulai refleksi dengan mengenang putra beliau Benardinus Realino Norma Irawan (Wawan) yang hilang direnggut oleh peristiwa tragedi Semanggi. Selanjutnya beliau menyebutkan deretan-deretan nama korban lain termasuk Munir. Nyawa-nyawa yang hilang diberhangus oleh negara.
Beliau menyampaikan bahwa ia akan terus bersuara menagih janji keadilan dan melanjutkan perjuangan para korban hingga kebenaran dicapai.
Selain itu Suciwati istri Alm aktivis HAM Munir juga hadir. Beliu datang bersama anak-anaknya. Ia mengingatkan kami semua yang hadir di aksi kamisan agar sebagai muda penggerak dan pejuang demokrasi.
"Nyawa kita bisa hilang tak peduli dengan bulir senjata api yang merangsek menusuk bagian tubuh kita atau bahkan racun yang tercampur dalam tiap makan atau minuman yang kita santap," kata Suciwati dalam orasinya.
Kamisan 600 bertepatan juga dengan 15 tahun meninggalnya aktivis Munir pada 7 September. Dihilangkan dengam racun arsenik merupakan kejahatan konspirasi yang sampai saat ini dalang aktor intelektual pembunuhannya belum juga diadili.
Padahal menurut TGPF yang dibentuk saat masa Presiden Susilo Bambang Yodhoyono, beberapa nama besar sudah diketahui. Semestinya ini yang harus diungkapkan ke publik. Akan tetapi kemauan negara dan komitmen Presiden masih sebatas umbar janji yang kosong buktinya.
Tak kalah menarik adalah pesan dari musisi muda Baskara Putra setelah ia dan para relawan paduan suara menyanyikan lagu karyanya berjudul Berita Kehilangan. Pesan tersebut kira-kira begini, "Kamisan adalah medium bagi anak muda belajar sejarah yang sebenar-benarnya".
Sebagai generasi yang awam sejarah, tentu pelurusan sejarah dan pengakuan negara atas peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu merupakan kurikulum bagi generasi muda agar menjadi endemik perubahan dimasa depan.
Kami generasi muda sangat mengharapkan Negara untuk tidak lembek membiarkan kejahatan-kejahatan di masa lalu dapat terulang kembali di masa yang akan datang. Artinya jangan sampai impunitas melekat pada institusi negara, karena itu akan berbahaya bagi mundurnya negara hukum.
Remind juga, upaya negara dalam melawan tindak rasialisme, kolonialisme, militerisme dan imprealisme merupkan suatu keharusan yang wajib dikuatkan pada sendi-sendi bangsa. Musuh utama bangsa ini adalah keempat point demikian disebutkan di atas.
Negara tidak boleh menjadi imprealis, kolonialis, rasialis dan militeristik terhadap sesama anak bangsanya sendiri. Kecenderungan pelanggaran HAM semakin meluas bila negara terus menakut-nakuti rakyat dengan moncong senjata yang dibiayai rezim komprador.
Oleh karenanya masih akan ada kamisan-kamisan berikutnya. Ia akan ada, terus dan berlipat ganda hingga negara benar-benar menuntaskan janji atas penuntasan pelanggaran HAM dan berhenti menjadi pelanggar HAM atas warga negaranya sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H