Mohon tunggu...
Sabri Leurima
Sabri Leurima Mohon Tunggu... Freelancer - Ciputat, Indonesia

Sering Dugem di Kemang Jakarta Selatan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Jangan Panggil Namaku, Sebut Tante Saja

5 September 2019   05:21 Diperbarui: 5 September 2019   05:42 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada seorang gadis yang membuatku tidak betah dalam berfikir. Ia terlihat manja dan sungguh sangat lebay bagiku. Tetapi aku menyukainya dengan sikap keterbukaan yang ditunjukan padaku. Tidak seperti gadis-gadis lain yang ku kenal dan terbilang menjaga jarak.

Aku belum pernah bertatap muka langsung dengannya. Tapi namanya aku tahu lewat pembicaraan teman-teman. Mifta Salma Tuarita namanya. Orangnya cantik dan berprofesi sebagai guru SMP di Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB).

Awalnya gadis ini adalah pacarnya adikku, aku kenal dengannya karena sering komunikasi dimedsos. Dia spontan menyahutku dengan sebutan kakak Ipar. Hehehe.. itu lucu beberanku. Belum sah kata demikian kau ucapkan jika belum ijab kabul.

Akibat sifat adikku yang terlihat bocah, ia dengan tegas ingin mengakhiri hubungan mereka. Namun menunggu hal-hal penting  yang harus diselesaikan. Ini bukan berkonotasi negatif ya, kata dia kepadaku.

Akhirnya hubungan kontak online kami berdua selalu aktif sampai pada titik-titik curhatan tidak jelas. Menanyakan sudah makan, lagi ngapain dan sebagainya adalah rutinitas obrolan pembuka aku bersamanya.

Pelan-pelan perdebatan soal nama muncul. Aku yang sering memanggilnya kakak dan dibantah olehnya untuk tidak boleh. Alasanya karena selesten. Padahal secara umur dia lebih tua setahun dariku. Biar lebih enak katanya panggil aku tante saja. Jangan lagi panggil namaku.

Yasudah, aku iyakan untuk memanggilnya tante. Walau menurutku kata itu tidak cocok dikenakan pada usia yang masih muda ini. Sengaja aku tawarkan untuk memanggilnya cinta. Jangan panggil cinta lagi, pintanya. Panggil tante saja biar lebih enak.

Well, dengan terpaksa aku menerimanya. Lalu tidak secara sengaja aku mulai menunjukan rasa cintaku padanya. Dia menuduhku gila dengan menggunakan bahasa tanah asal daerahnya, yang itu aku juga mengerti.

Bukan saja gila, aku juga dikatain tengah kerasukan setan. So, aku tidak ambil pusing. Dengan lapang dada aku menggangapnya bukan suatu problem tapi canda gulana.

Terkadang juga ia merasa bosan ketika aku sudah membuka pembicaraan pada hal-hal yang serius semisal mengajaknya untuk menjadi bagian dari hidupku. Tertawa dan terwata merupakan ekspresi yang aku dapatkan dari balasan chatnya.

Aku bukan berencana untuk merusak hubungan adikku denganya. Tidak ada sama sekali niat ke arah berbahaya itu. Hanya saja aku merasa kasihan pada si gadis dan adikku yang terus bertengkar tidak jelas. Apakah ini yang namanya jodoh bila terus ada pertengkaran. Bukan to? walau optimisime orang tua sudah bulat.

Prinsipnya, menurutku kisah cinta yang berumuran akan kokoh dibangun dengan tebaran kedamaian dan penuh kesejukan. Mungkin banyak orang memiliki versi yang berbeda soal ini akan tetapi aku sangat meyakini prinsip itu. Hanya dengan damai cintai jadi abadi dan itu aku bisa memberinya.

Namun, entah sampai kapan dia akan mengerti maksud suci ini. Aku berharap agar kekecewaan tidak menjadi bencana akhir dalam hidupku. Setidaknya aku ingin menuai hari tua bersamanya. Itu selalu ada dalam doaku ketika saat terbitnya fajar dan terbenamnya siang.

Malam hari aku dipenuhi mimpi-mimpi indah bersamanya, dipadang pasir, ditengah hutan,di ujung pulau, kami membangun rumah sederhana yang disekelilingi oleh warna-warni pohon bunga. Kami memiliki ternak dan perkebunan pangan yang selalu terus disertai rejeki.

Bahagia dan ketenangan menjadi tembok hubungan kami. Tak ada yang bisa intervensi suasana ini. Kami bebas bercinta dan mencintai. Itulah tugas kami merawat kehidupan untuk kemudian hari.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun