Usai tiba dirumah dari apiknya jualan keliling dengan berjalan kaki. Itsokay, bukan masalah berat baginya, tak ada kata menyerah bagi perempuan beranak satu ini. Saya sangat terharu kepadanya, perjuangnnya sangat melebihi batas kemanusiaan.
Batas waktu istirahat Hasna dirumah tidak terhitung menit. Dapur kali ini merupakan tempat ia menyalurkan tenaganya dengan memasak. Karena bila tidak, bentakan sang suami pasti menyertainya.
Peristiwa semacam ini banyak sekali saya temukan. Pelayanan terhadap suami sangat diutamakan tanpa pernah berfikir bahwa perjuangan seorang perempuan sejak subuh pagi minimalis untuk dihargai.
***
Sorenya Pejuang Mantatenu itu bersama sang suami pergi ke kebun mengambil kayu bakar. Sang suami hanya mampu menyediakan kayu bakar untuk kebutuhan memasak memakai tungku.
Mengharapkan bahan bakar minyak tanah tentu akan memboros keuangan keluarga. Sementara alam telah menyiapkan bahan untuk diolah, semestinya kita manfaatin saja anugerah ini demi kebutuhan kita.
Seikat kayu bakar dan beberapa buah kelapa kering di bawa Hasna. Sedangkan sang Suami memikul batang pohon cengkih kering dengan ukuran panjang 2 meter.
Aktivitas keluarga yang sangat rukun bila dipandang, namun karakter monotonnya masih terbeban di Hasna. Warga sekitar masih meyakini bila sang suami adalah kepala keluarga. Tetapi bagi saya Hasnalah yang pantas mendapat gelar itu.
Kenapa, karena beban ganda yang harus ia pikul sementara sang suami bekerja semaunya. Bangunan penilaian warga semestinya harus dirubah menggingat ada beban pengalaman yang dirasakan Hasna dan tidak dirasakan sang suami.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H