Lanjutan aksi unjuk rasa yang dilakukan teman-teman mahasiswa Papua di depan Istana Negara Jakarta diwarnai dengan pengibaran bendera Bintang Kejora.
Selain mengibarkan bendera Bintang Kejora, ratusan mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Anti Rasisme, Kapitalisme, Kolonialisme, dan Militerisme ini juga turut menuntut referendum kemerdekaan bangsa Papua.
Terlihat dilokasi puluhan aparat penegak hukum tidak mampu berbuat apa-apa. Hanya bisa berdiam diri dan mengawal jalannya aksi.
Sejaun ini rangkaian aksi unjuk rasa melawan tindakan rasisme yang dilakukan TNI-Polri dan Ormas Reaksioner terhadap mahasiswa Papua di Surabaya dan Semarang masih terus terorganisir.
Hanya saja, perlawanan terhadap tindakan rasisme dilakukan dengan mengibarkan bendera berhaluan Bintang Kejora yang akan mengundang banyak kecaman.
Hal lain yang membuat masyarakat tetap melakukan aksi unjuk rasa adalah dengan diblokirnya jaringan internet di Papua dan Papua Barat oleh pemerintah pusat (Menkominfo).
Kemudian oknum penyebaran rasisme di Surabaya belum ditangkap aparat kepolisian. Mandeknya penegakan hukum akan berakibat fatal pada pemicu-pemicu gerakan aksi lainnya diberbagai kota.
Mahasiswa Papua yang ada di Pulau Jawa dan Bali juga tengah menyatakan sikap untuk kembali ke tanah asalnya bila situasi di Indonesia tidak aman untuk mereka.
Perlakuan rasisme yang diterima mahasiswa Papua menandakan Indonesia belum dewasa dalam menghargai keberagaman dan persatuan.
Kecaman Netizen
Setelah berkibarnya bendera Bintang Kejora disejumlah jalan Ibu kota Jakarta oleh mahasiswa Papua, netizen ramai mempertanyakan ketegasan penegakan hukum oleh pihak aparat.
"aparat lembek, aparat penakut, padahal jelas-jelas itu merupakan bentuk makar yang dilakukan. Masa tidak di apa-apain," kata seorang netizen yang tidak ingin disebutkan namanya.
Dia juga membandingkan dengan bendera Komunis dan HTI, kan sama-sama bendera yang dilarang. Masa yang ini tidak diamankan.
Kita secara kemanusiaan menolak rasisme dan mendukung Papua melawan perlakukan diskriminatif dan stigmatisasi. Tetapi soal bendera kita mungkin agak berbeda, karena kita semua Indonesia," tegasnya.
Ia berharap Presiden Joko Widodo dan Ayahanda Tito Karnavian selaku Kapolri dapat bertindak tegas atas peristiwa ini.
Tegakan Hukum, Jangan Tebang Pilih
Juni 2018 lalu, simpatisan Kemerdekaan RMS ditangkap aparata gabungan TNI-Polri di Desa Hulaliu, Kecamatan Pulau Haruku, Maluku Tengah. Mereka ditangkap akibat menampakan bendera Benang Raja di rumah salah seorang Warga.
Peristiwa itu mengakibatkan 5 orang warga Desa Hulaliu dipenjarakan hingga sekarang karena dianggap mengancam NKRI dan melanggar Undang-undang.
Sementara disisi lain, Bintang Kejora berkibar bebas, menari-nari dan berdendang meramaikan aksi penolakan rasisme dan menuntut referendum. Aparat lembek-lembek aja.
Ketidakreaktif aparat dalam menjalangkan tugasnya akan berdampak buruk pada hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap para penegak hukum.
Benih-benih ketidakpercayaan telah nampak di online dan mungkin pada kondisi offline. Prinsip equality before the law harus menjadi sandaran negara hukum seperti Indonesia, jangan asaltebang pilih.
Terlepas dari itu, Papua adalah Indonesia. Kemanusiaan tetap diutamakan dalam berbangsa dan bernegara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H