"Hanya Gusdur yang bisa mengerti orang Papua," kata rakyat Indonesia.
"Hanya Mitha Talahatu yang mengerti isi hati nyong Papua," kata netizen.
Dua kutipan diatas merupakan kerangka awal dalam tulisan ini guna menyajikan ekspresi dan keinginan  bangsa Papua untuk merdeka.
Kemudian mempertanyakan eksistensi bangsa Maluku dalam caturan politik Jakarta yang pelan-pelan sedang melahap sumber-sumber kemakmuran di negeri kepulauan itu.
Sudah hampir pekan kedua, rakyat Papua terus menggigih melakukan aksi demontrasi diberbagai daerah di Indonesia. Konsisten dan penuh semangat membuat mereka berani mengibarkan bendera Bintang Kejora di depan Istana Negara, Jakarta.
Menuntut kemerdekaan Papua dari Indonesia selalu menjadi trend campaign, bahkan wajib diteriakan. Gerakan masif dan paling terorganisir ini sangat mengundang perhatian pemerintahan Indonesia dan dunia Intersional.
Puncak pemicunya terjadi setelah ucapan rasisme dilontarkan aparat TNI-Polri dan ormas reaksioner kepada mahasiswa Papua dan Kemudian dengan viralnya video pengusiran mahasiswa Papua dari dari asramanya di Jl Kalasang, Surabaya.
Bahwa semarak perayaan Ultah Republik Indonesia yang ke 74 tercoreng buruk. Padahal dengan usia yang sudah tidak mudah lagi, sebagai bangsa yang besar harus menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dan anti terhadap rasisme.
Akibatnya, muncul demontrasi dimana-mana. Papua ingin merdeka, kami bukam anak tiri, kami manusia kami bukan monyet ramai menjadi konten campaing dimedia sosial. Terlepas dari itu pelanggaran hak asasi manusia semakin menggila dikarenakan pendekatan keamanan yang dilakukan pemerintah pusat.
Sejarah bangsa Papua setelah kemerdekaan Indonesia tragis dengan banyak peristiwa pembantaian. Sampai sekarang konflik senjata masih terjadi. Pembungkaman ruang ekspresi dan hancurnya identitas orang Papua.
Bagaimana dengan Maluku?
Seperti judul tulisan diatas," Rakyat Papua ingin merdeka, bagaimana dengan Maluku?
Ya, pertanyaan yang belakangan ramai di kalangan aktivis Maluku. Bintang Kejora bisa terbentang diiringi arak-arakan tarian di depan Istana Negara dan beberapa kota lainnya tidak dianggap makar oleh aparat penegak hukum. Sementara Benang Raja ketika menampakan warnanya dipemukaan langsung dipenjarakan orangnya.
Pasalnya, saya tidak akan menulis yang bersifat makar seperti untuk mendukung kemerdekaan Republik Maluku Selatan(RMS) kemudian diciduk aparat gabungan TNI-Polri, sesuai penglihatan kita bersama pada Juni 2019 kemarin di Desa Hulaliu, Kecamatan Pulau Haruku, Maluku Tengah.
Narasi yang akan saya rangkaikan dengan beberapa instrumen pembangunan. pertama, pembangunan manusia, pengelolaan sumber daya, dan yang terakhir dampaknya kesejateraan terhadap rakyat Maluku secara kolektif.
Lalu timbul pertanyaanya lagi, apakah narasi diatas sudah dilakukan pemerintah Maluku? Mari kita uraikan satu demi satu.
Pertama, Data Badan Pusat Statistik(BPS) menunjukan Maluku masih berada pada Propinsi ke 4 termiskin di Indonesia. Masa sih? Daerah yang kaya sumber daya laut kok bisa dibilang termiskin. Ini menurut kata pemerintah agar diketahui dunia.
Kedua, rata-rata penghasilan tambang emas gunung botak mencapai 365 triliun pertahun. Hanya baru satu tambang yang saya sebutkan. Tapi lihat apa saja dampaknya dari hasil sebanyak itu, Maluku masih tetap diurutan ke 4 Provinsi termiskin versi BPS.
Ketiga, Sejak tahun 2010 hingga tahun 2018 pembangunan manusia Maluku masih "berstatus sedang" tentu dengan berbagai variabel. Kata BPS Prov Maluku, ini masih baik dan akan mengalami peningkatan. Saya pikir pernyataan yang disampaikan terlalu fantasy dan merasa baik-baik saja.
Kini 2019 dengan melambungnya harga tiket pesawat terbang yang begitu mahal sehingga muncul gerakan satire pembuatan pasport dan peluncuran mata uang pisi oleh komunitas Beta Kreatif.
Ditambah lagi Mei 2015 lalu, Presiden Jokowi tengah memberikan grasi kepada tapol asal Papua. Tapol Maluku, ohh..No walau sudah mengajukan grasi.
Problem yang saya catat berikutnya terkait Otsus dan RUU Kepulauan. Kita tahu Maluku adalah daerah yang paling banyak laut dari pada daratan. Antara otsus atau RUU Kepulauan adalah bentuk legitimasi dan proteksi orang Maluku terhadap lautnya.
Infrastruktur jalan, pendidikan, kesehatan dan kebutuhan dasar lainnya masih tergolong predikat buruk. Banyak janji soal kebutuhan inu tapi janji tersebut tenggelam dilaut banda. Masih banyak problem yang bisa saya uraikan sedetail mungkin, akan tetapi takutnya pembaca terasa bosan membahana.
So, rentetan kegelisahan di atas bagaimana dengan responmu? Ingin bersuara merdeka seperti Papua atau memilih diam di tempat sambil gali ladi di bibir pantai, hanya iblis yang tahu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H