Mae ike rame-rame puna Abda'u re iya-iya, ehe puna tagae, supaya ehe mansia si hoa tarbae,"artinya ;Mari kita ramai-ramai bikin Abda'u baik-baik jangan bikin tersangkut supaya jangan orang bilang tidak baik".
Sedikit cerita dan nilai dari Abda'u. Mungkin masih banyak orang yang tidak menanyakan apa makna dari nilai tersebut. Abda'u rutin dilaksanakan pada setiap perayaan hari Raya Idul Adha oleh masyarakat Desa Tulehu, Kecamatan Salahutu, Kabupaten Maluku Tengah.
Merebutkan dan menegakan sebuah bendera berwarna hijau bertuliskan kalimat Lailah Hailaulah dilakukan oleh seluruh masyarakat Tulehu khusunya oleh para lelaki. Atraksi kebudayaan ini sangat ditunggu-tunggu banyak orang bahkan sampai pada tingkat wisatawan.
Mekanismenya pada saat pengambilan hewan kurban dari rumah Imam besar kemudian diarakan ke rumah Raja (Upu Latu) lalu diberi arahan dan kebesaran berupa pemberian bendera bertuliskan hijau bertuliskan kalimat Allah SWT dan Nabi Muhamad SAW.
Tetapi hingga diskursus Abda'u tidak seperti asal muasal sejarahnya. Banyak kehilangan makna historis, simbolik, sekaligus sebagai sebuah refleksi. Abda'u konon, kata masyarakat Tulehu Tempo Doeloe, sangat indah dan mempunyai nilai kesenian yang tinggi.
Sejarah Asal Muasal
Atraksi Abda'u pertama dimulai sejak masuknya Islam di Maluku pada tahun 1250 masehi atau pada abad ke 7 Hijriah. Tokoh Sejarawan Maluku, Drs. M Noer Tawainella, mengatakan dalam buku Depressing of Islam yang ditulis "T.W. Arnold" menjelaskan penyebaran Islam ke arah timur termasuk Tulehu itu disebarkan oleh keluarga nabi.
Setelah dilansir dari chanel akun Youtube milik  Awan Pellu, Noer Tawainella dan beberapa rekannya sempat mengkaji soal itu dari berbagai literatur ilmu pengetahuan.
Sebagai sebuah refleksi, Abda'u, pada prinsipnya mengandung rasa menghormati terhadap peristiwa terbunuhnya Saidina Husen Bin Ali oleh Yazid Bin Muawiyah di Karbala, pada 10 Muharam tahun 61.
Dalam kisahtul ambiyah dibacakan setelah matawana(begadang) 9 hari yang sekarang menjadi 7 hari. Bagaimana Abda'u hadir untuk merespon, Syaidina Ali Bin Abu Talib, istri berserta anak cucunya menjadi korban Khalifa Bani Umayyah.