Mohon tunggu...
Sabri Leurima
Sabri Leurima Mohon Tunggu... Freelancer - Ciputat, Indonesia

Sering Dugem di Kemang Jakarta Selatan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jokowi Buruk dalam Penyelesaian Kasus HAM

18 Juli 2019   13:21 Diperbarui: 18 Juli 2019   13:44 295
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pidato tanpa teks berjudul "Visi Indonesia" yang disampaikan Presiden terpilih 2019-2024, Joko Widodo, dalam sebuah acara meriah yang digelar di Sentul International Convention Center, Bogor, Jawa Barat, Minggu (14/7/2019) lalu. Dalam pidatonya yang disampaikan di hadapan para elite politik partai pendukung dan ribuan relawan tersebut, Jokowi mengungkapkan lima tahapan besar yang telah disiapkannya untuk mewujudkan visi untuk Indonesia dalam lima tahun ke depan.

Visi tersebut adalah Indonesia yang lebih produktif, berdaya saing, dan memiliki fleksibilitas tinggi dalam menghadapi tantangan global yang dinamis. Kelima tahapan besar yang akan dilakukan Jokowi pada periode kedua pemerintahannya tersebut adalah:

1. Mempercepat dan melanjutkan pembangunan infrastruktur, yakni infrastruktur yang terkoneksi dengan berbagai kawasan industri, pariwisata, dan produksi pertanian.

2. Pembangunan sumber daya manusia (SDM), yakni dengan menjamin kesehatan ibu hamil dan anak usia sekolah serta meningkatkan pendidikan vokasi dan manjemen talenta.

3. Membuka investasi seluas-luasnya untuk membuka lapangan kerja, yakni dengan memangkas hambatan investasi.

4. Reformasi birokrasi, yakni birokrasi yang cepat dalam pelayanan dan perizinan.

5. APBN yang fokus dan tepat sasaran, yakni APBN harus memiliki manfaat ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Namun, pidato tanpa teks yang disampaikan Jokowi dengan menggebu-gebu tersebut disambut kritik tajam oleh kalangan pengamat dan aktivis Human Rigths. Dikatakan, pidato " Visi Indonesia" berdurasi 24 menit tersebut sama sekali tidak menyentuh masalah penegakan hukum dan HAM. Pidato juga tidak menyinggung strategi atau tahapan besar pemberantasan korupsi, selain penekanan Jokowi untuk "menghajar" pungli.

Padahal, menurut Direktur Eksekutif Voxpol Research Center, Pangi Syarwi Chaniago, masalah ketidakadilan penegakan hukum dan HAM lah yang menimbulkan kegelisahaan utama rakyat saat ini. Pangi mengatakan, kegaduhan politik di akar rumput, konflik sosial, kesenjangan dan ketidakadilan menjadi biang kerok permasalahan bangsa karena lemahnya agenda penegakan hukum.

Ditambah lagi, selama periode pertama masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo, agenda penegakan hak asasi manusia (HAM) dinilai tidak mengalami perubahan. Salah satu indikatornya adalah penuntasan sejumlah kasus pelanggaran berat HAM masa lalu yang tak kunjung direalisasikan.

Pada masa kampanye Pilpres 2014, Jokowi berkomitmen menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran berat HAM masa lalu dan menghapus impunitas. Komitmen tersebut juga tercantum dalam visi, misi, dan program aksi yang dikenal dengan sebutan Nawa Cita.

Salah satu poin dalam sembilan agenda prioritas Nawa Cita, Jokowi berjanji akan memprioritaskan penyelesaian secara berkeadilan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM pada masa lalu. Kemudian Jokowi juga menegaskan komitmennya untuk menyelesaikan delapan kasus pelanggaran HAM masa lalu disebutkan pula delapan kasus pelanggaran HAM masa lalu yang menjadi beban sosial politik.

Kedelapan kasus tersebut adalah kasus kerusuhan Mei 1998, Kasus Trisaksi, Semanggi I, Semanggi II, kasus penghilangan paksa, kasus Talangsari, Tanjung Priuk, dan Tragedi 1965. Pembunuh Aktivis HAM, Munir Said Thalib, juga masih berkeliaran di era Jokowi.

Sementara itu menurut catatan Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan(KontraS), kepemimpinan Jokowi selama masa pemerintahannya, penegakan hukum dan HAM masih belum menjadi komitmen presiden untuk menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM yang menyasar para aktivis. KontraS menyampaikan bahwa berdasarkan temuan KontraS melalui pemantauan media, pengumpulan data dari jaringan, dan pendampingan korban serta investigasi mandiri, KontraS menemukan bahwa dalam kurun waktu Juni 2018-Mei 2019 terdapat setidak-tidaknya 72 peristiwa penyiksaan di Indonesia.

Dari 72 peristiwa tersebut, 16 orang tewas  dan 114 korban luka-luka, dengan 51 korban penyiksaan juga merupakan korban salah tangkap. Dari 72 kasus yang ditemukan, 57 kasus dilakukan oleh aparat kepolisian, 7 kasus oleh tentara, dan 8 kasus oleh sipir. Sama dengan tahun-tahun sebelumnya, kepolisian masih mendominasi sebagai pelaku dalam kasus-kasus penyiksaan yang terjadi di Indonesia. Hal ini selaras dengan motif utama dalam kasus-kasus penyiksaan yang ditemukan yakni untuk mendapat pengakuan dengan total 49 kasus dibandingkan sebagai bentuk penghukuman dengan total 23 kasus. KontraS menilai bahwa jumlah penyiksaan yang masih tinggi ini menunjukan bahwa upaya korektif yang dilakukan oleh pemerintah sejauh ini belum maksimal.

Disektor agraria, letusan konflik agraria periode 2014-2018 menimbulkan banyak korban di antaranya adalah 41 orang diduga tewas, 546 dianiaya hingga 51 orang tertembak. Hal itu dipaparkan dalam Catatan Akhir Tahun 2018 yang diterbitkan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) pada Kamis (3/1). Dewi Kartika, Sekjen KPA, menyatakan konflik tanah menyebar di seluruh Indonesia, didominasi oleh Riau, Sumatra Utara dan Jawa Barat sejak 2014. Pada akhir tahun lalu, Riau menyumbang 42 konflik, Sumatra Utara 23 konflik dan Jawa Barat.

Oleh karena itu, mendorong komitmen negara dalam merealisasikan janjinya untuk menuntaskan kasus HAM merupakan bagian integral yang harus terus diperjuangkan. Sebentar lagi, Aksi Kamisan menuju ke 800 kalinya. Para korban masih berdiri berpayung hitam di depan istana negara. Kasus Pembunuhan Novel Baswedan mandek hingga sekarang, polisi dinilai tidak becus untuk menegakan hukum dan HAM. Hingga kemarin ada aksi mahasiswa dengan tema; "bawa kasus Novel ke Polisi tidur", akibat kerja investigatif kepolisian yang tidak jelas. Walaupun pling-plang lontaran janji penyelesaian terus dikumandangkan. Pemerintahan yang sebelah mata, adalah pemerintahan Jokowi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun