Mohon tunggu...
Sabri Leurima
Sabri Leurima Mohon Tunggu... Freelancer - Ciputat, Indonesia

Sering Dugem di Kemang Jakarta Selatan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Perempuan Ibarat Sebuah Kesucian

6 Juli 2019   14:52 Diperbarui: 6 Juli 2019   15:02 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dimana-mana, sampai hari ini, perempuan selalu dalam posisi minoritas yang diam, tak diberi kebebasan memperoleh akses politik dan ekonomi dan jauh dari kemakmuran dan keadilan yang terus menerus didominasi oleh para elite laki-laki.

Dalam retorika politik mereka dianggap penting dan menentukan, tapi kedudukan mereka selalu diwakili oleh para laki-laki yang cenderung menyimpang, tak bertanggunjawab, patriarki, dan menyalagunakan mandat mereka.

Barangkali dalam tata kehidupan seperti ini perempuan bisa berarti orang yang terusir, atau sengaja diusir, dari istana peradaban jaman. Perempuan adalah kaum yang dalam sejarah ibaratnya tidak pernah, dan tidak boleh beruntung. Mereka selalu dianaktirikan oleh sejarah yang isinya pertarungan demi pertarungan untuk memperebutkan kelas sosial yang mulia.

Ada saja orang-orang yang sedikitnya sebelum mereka berkuasa, mengembangkan gagasan, dan ideologi pembebasan penentu jalan yang intinya, kelak dia berkuasa maka aspirasi perempuan akan dibelanya, agar mereka bebas dari derita demi derita.

Orang-orang macam itu memiliki semangat membela aspirasi perempuan, misi luhur konstitusi, penegakan hak hidup dan hak asasi perempuan sebagai bagian dari umat manusia, namun nyaris dalam implementasi.

Tak lain bagaimana hak asasi manusia tidak terlalu populer dikalangan elite politik. Mereka masih menganggap kodrat perempuan adalah yang nomor dua. Relasi sosial masih dibentuk dalam ruang feodalistik, padahal sudah jelasnya separuh dari amanat UUD 1945 isinya membahas HAM.

Perempuan dalam kaca mata HAM adalah golongan manusia yang suci, yang perlu dihormati, lindungi, dan dipenuhi akses demokrasinya. Tidak seperti jaman jahiliyah dan kegelapan eropa. Maraknya kasus pelecehan dan kekerasan seksual ditingkat dunia pendidikan adalah bentuk negara dan para elite politik memiliki watak patriarki dan oportunistik.

Semestinya penegakan hukum harus mampu mengantongi keadilan bagi perempuan. Tapi alhasil, hukum menjadi relasi kuasa laki-laki untuk bersembunyi dalam kejahatan kemanusiaan. Pengadilan cenderung tidak serius dalam mengkaji kekerasan terhadap korban perempuan.

Kasus Bu Nuril dan kawan Agni (mahasiswa UGM) merupakan contoh kecil potret ketidaksucian dan gagalnya penegakan hukum di Indonesia. Presiden Jokowi akan bersikap bila ada desakan masyarakar sipil, bila tidak? diam-diam saja para pemangku kekuasaan.

Bahkan wacana Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU-PKS), tidak begitu gejolak perebutan kursi mentri 2019-2014. Sementara marak kasus kekerasan seksual menimpa anak dibawah umur yang terus tak ada habisnya.

Oleh karenanya, langkah yang mesti diambil pemerintahan adalah fokuskan pada kondisi real kejahatan yang ada. Bukan malah berbicara jatah kursi mentri, bagi-bagi kue kekuasaan, dan rekonsiliasi yang tidak dimengerti masyarakat akar rumput.

Proses pendewasaan negara Indonesia dalan berdemokrasi akan terlihat bila manusia dapat memanusiakan manusia, dalam hal ini perempuan harus bebas dari tindak kekerasan seksual serta diberikan akses pendidikan politik yang melawan relasi kekuasaan patriarki yang terus subur dalam balutan regulasi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun