Tulehu selain dikenal sebagai Kampung Sepak Bola, degradasi bahasa daerah (bahasa tanah) di Desa Tulehu pun kian menuju kepunahan dikalangan anak muda-nya.
Sebuah desa yang kaya akan keberagaman budaya adat istiadat ini, ternyata bisa dibilang terjebak dalam kemajuan jaman hingga melupakan Asbabun Nuzul dari pentingnya bahasa daerah.
Bagaimana bisa bahasa sebagai media komunikasi, surut begitu cepat. Paling tidak, bahasa adalah identitas yang melekat dalam setiap hubungan sosial yang semestinya dirawat dan dilestarikan.
Fakta ini saya dapat ketika berhubungan dialog langsung dengan anak-anak muda asal Tulehu. 4 dari 5 anak yang saya temui gugup dan gagap untuk aktif berbahasa secara baik.
Dalam dialognya, saya sering menggunakan bahasa daerah mereka. Namun, banyak yang tidak aktif bila dialognya pakai bahasa daerah Tulehu. Katanya, pakai bahasa hari-hari Ambon saja, saya tidak mengerti dan kaku kalau pakai bicara bahasa daerah.
Tak hanya itu saja, untuk mengartikan bahasa pun sangat sulit bagi mereka, sehingga saya beranggapan kecenderungan anak muda Tulehu dalam berbahasa daerahnya menuju fase kepunahan.
Berdasarkan Penulusuran yang saya lakukan, Desa Tulehu dan dua desa lainnya, Desa Tengah-Tengah dan Desa Tial, merupakan ketiga desa yang sama bahasa daerahnya.
Desa Tial dan Desa Tengah-Tengah, saya temukan anak-anak mudanya lancar dan aktif dalam menggunakan bahasa tanahnya. Sedangkan Desa Tulehu masih diragukan.
Menanggapi problem diatas, saya menyarangkan agar para tokoh adat dan orang tua harus menjadi tolak ukur anak dalam bercakap bahasa daerah.
Sebagai miniatur desa dan rumah tangga, keduanya semestinya menciptakan pengembangan identitas melalui bahasa. Karena di dunia pendidikan formal tidak diberi ruang, padahal sewajibnya harus.
Pernah sempat, saya ditegur oleh beberapa kawan di desa saya, hanya gara-gara tidak benar dan terbata-bata dalam berdialog menggunakan bahasa daerah.