Dari kecil saya pernah ditanya sama orang tua, Apa cita-citamu nak? Jawab saya: ingin jadi pemain bola profesional untuk mengharumkan nama keluarga dan negara.
Tenyata, cita-cita tersebut jauh dari mimpi masa kecil. Pendidikan tinggi mengajak saya untuk bernaung kepadanya, walau kelarnya tujuh tahun lamanya.
Tetapi terkadang, mimpi masa kecil selalu menghantui di benak kepala. Seolah-olah jangan ada lagi korban mimpi yang tidak kesampaian seperti saya.
Seiring berjalan waktu, banyak anak-anak di desa saya, Tengah-Tengah, Kecamatan Salahutu, Kabupaten Maluku Tengah. Punya mimpi yang sama, untuk menjadi pemain bola profesional.
Mirisnya, mimpi dan fakta bersebrangan dikarenakan kondisi lapangan bola yang buruk. Itu bukan soal bagi generasi setelah saya. Mereka terus memacu semangat di atas kegersangan harapan, sembari menunggu tangan ajaib menjambak lapangan bola mereka.
Bukan saja itu, berbagai kompetisi sudah mereka lakukan mulai dari ikut Liga 3 Indonesia, Menpora Cup, Soeratin Cup, dan Piala Polda Maluku. Hasil dari ikut kompetisi tersebut terbilang memuaskan. Walau kadang-kadang kondisi lapangan tidak serius diperhatikan.
Pemdes Tak Punya Loyalitas
Satu dari sekian banyak anak-anak yang mengejar mimpinya sangat berharap bila kondisi lapangan bola gersang mereka diperbaiki sebaik mungkin. Alasannya, banyak problem yang akan didapatkan.
Dalam hal ini pemerintah Desa (Pemdes) Tengah-Tengah, sebagai miniatur publik. Seharusnya patut dipertanyakan kinerja pengembangan minat dan bakat anak. Sudah sejauh mana sudah dilakukan.
Ini menandakan Pemdes terkait telah mematikan mimpi anak bangsa secara struktural. Peningkatan minat dan bakat anak tak jadi prioritas. Infrastruktur lainnya selain lapangan bola adalah prioritas Pemdes. Lapangan bola semestinya dijadikan sebagai ruang sarana dan prasaran masyarakat Desa dalam membuat suatu kegiatan, malah di cuekin begitu saja.