Kontruksi sebagaian besar masyarakat Indonesia masih terjebak dalam definisi malam dan siang. Malam masyarakat memandangnya sebagai tindakan amoral, sedangkan siang adalah moralis.
Dalam kaitannya, perempuan selalu menjadi obyek yang diluar batas. Keluar malam bagi mereka adalah sesuatu yang tidak wajar, perempuan sembarangan, melanggar norma adat, agama dan sebagainya. dan hanya itu bisa dilakukan oleh para lekaki.
Pelajaran seperti ini kiang lengket dalam satu kepercayaan konservatif. Alhasil, ruang stigma negatif menjadi superior untuk mengatur segala kebebasan perempuan. Dilain sisi, laki-laki terus aman dari stigma, sementara laki-laki banyak yang tergolong pelaku stigma itu.
Faktanya yakni aktivitas malam sangat banyak dalam hal pelayanan publik. Sejujurnya pelurusan atas stigma seperti yang di atas harus berakal dan tidak menggunakan eksistensi konstruk amoral dan moralis. Karena dalam kehidupan ruang publik, moral dan moralis adalah urusan privat yang tidak boleh diintervensi oleh siapapun.
"Pelarangan dan stigma buruk adalah gejala otoritas sosial dengan pemaknaan moral yang berlebihan."
Saya sering mendapati, kejadian serupa diberbagai tempat. Awalnya saya pikir ini merupakan bentuk perlindungan yang dilakukan untuk membatasi ruang ekspresi dan kebebasan perempuan. Pikiran saya pertama kali. Namun setelah berulang-ulang, muncul tanda tanya, ko regulasi sosial terhadap kebebasan perempuan makin sempit? dan kadang tak ada sama sekali.
Pelarangan dan stigma buruk adalah gejala otoritas sosial dengan pemaknaan moral yang berlebihan. Bagi saya itu ambigu, tetapi faktanya ambiguitas sering menjadi doktrinasi bangunan moral.
Menyesatkan  bila menempatkan perempuan keluar malam atas satu derajat sosial. Kesosialan menjadi agung karena sering dianggap inilah eksitensi derajat manusia.Â
Anehnya lagi, tak jarang kita menemui laki-laki yang dilarang keluar malam, itupun bisa mereka bantah dengan dalil fisik yang kuat., bisa menjaga diri. Sementara perempuan dengan banyak pertimbangan, bisa iya bila ada pengawalan.