Mohon tunggu...
Sabri Leurima
Sabri Leurima Mohon Tunggu... Freelancer - Ciputat, Indonesia

Sering Dugem di Kemang Jakarta Selatan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Stigma Buruk tentang Perempuan yang Suka Keluar Malam

8 Juni 2019   03:23 Diperbarui: 11 Juni 2019   15:32 1088
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi perepmuan yang kelelahan (SIphotography) 

Kontruksi sebagaian besar masyarakat Indonesia masih terjebak dalam definisi malam dan siang. Malam masyarakat memandangnya sebagai tindakan amoral, sedangkan siang adalah moralis.

Dalam kaitannya, perempuan selalu menjadi obyek yang diluar batas. Keluar malam bagi mereka adalah sesuatu yang tidak wajar, perempuan sembarangan, melanggar norma adat, agama dan sebagainya. dan hanya itu bisa dilakukan oleh para lekaki.

Pelajaran seperti ini kiang lengket dalam satu kepercayaan konservatif. Alhasil, ruang stigma negatif menjadi superior untuk mengatur segala kebebasan perempuan. Dilain sisi, laki-laki terus aman dari stigma, sementara laki-laki banyak yang tergolong pelaku stigma itu.

Faktanya yakni aktivitas malam sangat banyak dalam hal pelayanan publik. Sejujurnya pelurusan atas stigma seperti yang di atas harus berakal dan tidak menggunakan eksistensi konstruk amoral dan moralis. Karena dalam kehidupan ruang publik, moral dan moralis adalah urusan privat yang tidak boleh diintervensi oleh siapapun.

"Pelarangan dan stigma buruk adalah gejala otoritas sosial dengan pemaknaan moral yang berlebihan."

Saya sering mendapati, kejadian serupa diberbagai tempat. Awalnya saya pikir ini merupakan bentuk perlindungan yang dilakukan untuk membatasi ruang ekspresi dan kebebasan perempuan. Pikiran saya pertama kali. Namun setelah berulang-ulang, muncul tanda tanya, ko regulasi sosial terhadap kebebasan perempuan makin sempit? dan kadang tak ada sama sekali.

ilustrasi pribadi
ilustrasi pribadi
Memahami soal seperti ini mungkin agak tabu, kadangkala gugup untuk memberikan edukasi sepantasnya. Sebab kemungkinan besar, saya akan menerima dampak keterasingan sosial yang amat dahsyat. 

Pelarangan dan stigma buruk adalah gejala otoritas sosial dengan pemaknaan moral yang berlebihan. Bagi saya itu ambigu, tetapi faktanya ambiguitas sering menjadi doktrinasi bangunan moral.

Menyesatkan  bila menempatkan perempuan keluar malam atas satu derajat sosial. Kesosialan menjadi agung karena sering dianggap inilah eksitensi derajat manusia. 

Anehnya lagi, tak jarang kita menemui laki-laki yang dilarang keluar malam, itupun bisa mereka bantah dengan dalil fisik yang kuat., bisa menjaga diri. Sementara perempuan dengan banyak pertimbangan, bisa iya bila ada pengawalan.

Perlu dipahami bahwa, keluar malam bagi perempuan bukan saja sebagai sesuatu yang buruk. Banyak tuntutan kerja malam sesuai aturan tempat ia bekerja, atau berjualan demi mengenyangkan mereka yang suka keluyuran perihal keburukan perlu distandarisasi dan diukur, bukan asal menjustifikasi.

Barangkali ini adalah bagian rumit yang kita hadapi untuk bagaimana kemudian memandang sesuatu tidak berdasarkan stigma negatif atau buruk. Belajar untuk mencari tahu proses apa yang dikerjakan dan kenapa dikerjakan saya kira bukan satu hal yang sulit. 

Daripada duduk dalam bayangan stigma takaruang. Ini sama seperti, sholat tapi tidak khusyuk.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun