"Kenapa,sih? Kok mukanya butek banget?" Tanya saya kepada teman saya. Malam itu kami sedang membicarakan rencana kegiatan untuk rumah tulis.
"Iya nih... Bete. Habis bgawal perhitungan suara di kecamatan," jawabnya.
"Terus, hasilnya gimana?" Tanya saya lagi. Kebetulan caleg yang berada di daerah pemilihannya kebanyakan teman saya juga.
"Ya... Yang berpeluang paling besar sih 1 orang. Satu lagi masih tipis peluangnya."
"Lumayan, dong," saya berusaha membesarkan hati.
" Yang bikin bete, tadi caleg yang berpeluang lolos itu minta kita 'ngatur' gimana caranya menggelembungkan suara supaya bisa dapat 2 kursi," jawab dia. Sedih bener kelihatannya.
Sumpah!
Kaget banget mendengar kabar dari temen saya ini, yang merupakan tim sukses salah seorang caleg yang pada akhirnya tidak terpilih. Akan tetapi, dedikasinya pada partai, membuat dia masih terlibat untuk mengawal perhitungan suara hingga tahap akhir. Mengagetkan karena permintaan pengelembungan suara itu muncul dari orang yang sebelum pemilihan ini adalah legislator dan kini maju lagi menjadi caleg.
Kaget karena caleg ini tidak mewakili karakter dan jati diri partainya. Menggelembungkan suara adalah perbuatan curang yang tidak hanya mencederai hasil pemilu, tetapi juga mencederai komitmen menjadi wakil rakyat. Bagaimana mungkin berharap bangsa ini tambah baik jika prosesnya sudah tidak baik?
Kaget karena pengelembungan ini dilakukan salah satu caleg dari partai yang saya contreng. Kalau yang melakukan partai lain, yang memang menggunakan cara-cara seperti itu, mungkin dianggap lumrah karena sangking tidak percaya jati dirinya. Akan tetapi, pengelembungan ini dilakukan caleg dari partai yang saya dambakan untuk melakukan perubahan.
Ternyata, jika politik sudah menjadi syahwat , apapun memang bisa dilakukan, tidak lagi peduli dengan jati diri, karakter, dan visi partai. Suara yang diraihnya menjadi semu karena jika dia menyarankan cara yang tidak layak seperti itu, sebenarnya siapa yang diwakilinya? Mengerikan, karena untuk 5 tahun ke depan dia akan kembali duduk sebagai legislator. Mengerikan, karena dia tidak sendirian.
Teman saya masih saja bersungut-sungut menceritakan apa yang dialaminya. Dia juga menceritakan bahwa di proses kampanye gelagat itu sudah mulai memaklumi. Akan tetapi, orang-orang baik di sekelilingnya masih memaklumi. Ibaratnya, saya istilahkan, mereka melihat caleg itu " sedang mencari nafkah".
Tidak disangka, usianya proses kampanye ternyata masih berlanjut dengan perilaku lain yang tidak kalah aneh.Â
Saya kemudian bertanya tentang teman-teman lain, caleg yang tidak lolos. Alhamdulillah, secara kejiwaan mereka baik-baik saja, walaupun secara keuangan tidak cukup baik. Saya malah menaruh respek tinggi kepada para caleg yang tidak terpilih itu.
Teman saya yang jujur dan berdedikasi ini komplain tapi nggak bisa ngapa-ngapain karena caleg itu punya posisi strategis di partai nya. Saya hanya berusaha menenangkan.
" Tenang... Sabar aja. Orang sabar biasa nya kesel....".hehe😂
Tak berapa lama, datang teman saya yang lain. Kami sudah 14 tahun tidak bersua. Kami bertukar informasi tentang pekerjaan masing-masing. Ketika mengenalkan rumah tulis dan menceritakan rencana-rencana kedepan, seperti gayung bersambut ternyata teman saya itu memang sedang merencanakan juga kegiatan yang mirip-mirip tapi belum ada eksekutor nya.
Jadilah kami sepakat untuk mengadakan kegiatan tersebut bersama. Teman saya itu, yang tadinya manyun,mulai sumringah. Perhatiannya teralih ke diskusi rencana kegiatan rumah tulis. Alhamdulillah.
Ternyata, tidak perlu berbondong-bondong menjadi caleg dan masuk dunia politik untuk berkontribusi banyak bagi masyarakat. Banyak sarana untuk melakukan perubahan. Tidak cukup kalau hanya berteriak, apalagi berteriak nya hanya 5 tahun sekali.
#sumber
Savana,Baban. Blogger Ngomong Politik. Jakarta : Elex Media Komputindo.2010 (hlm.16-18)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H