Adagium "Panta rhei" yang digaungkan Heraclitos ribuan tahun lalu untuk menegaskan bahwa perubahan itu hukum besi dalam kehidupan, terbukti tak terhalang lebatnya kanopi belantara hutan hujan tropis Halmahera. Seberapapun kuatnya adat, suku Tobelo Dalam atau O Hongana Manyawa bukanlah labu Erlenmeyer yang tertutup dan bisa disucihamakan. Mereka juga berubah, seiring waktu dan tumbuh kembang generasi. Â
Berabad-abad menggantungkan keberlangsungan hidup pada apa yang diberikan hutan, ---berburu, meramu, dan menjaga tradisi leluhur--- tak lagi menjadi alasan kuat untuk tetap berpijak di tempat. Waktu membawa perubahan. Apa yang kita lihat sekarang adalah bagaimana dunia luar mulai masuk dan mengubah wajah masyarakat Tobelo Dalam. Sejak masuknya agama Kristen hingga era industrialisasi nikel saat ini, kisah Tobelo Dalam adalah cerita perjalanan panjang tentang perubahan, tantangan, dan bagaimana manusia merespons tantangan tersebut.
Perubahan yang dialami masyarakat Tobelo Dalam ini sebenarnya hal yang wajar. Kalau kita belajar dari sejarah, semua komunitas di bumi ini, baik yang paling modern hingga yang paling tradisional, pasti akan menghadapi perubahan. Yang menjadi penentu adalah bagaimana komunitas tersebut meresponsnya. Seperti yang dikatakan sejarawan Inggris, Arnold J. Toynbee, dalam teori "challenge and response"---ketika sebuah masyarakat dihadapkan pada tantangan, bagaimana mereka merespons itulah yang membentuk masa depan mereka.
Awal perubahan: masuknya agama Kristen
Perubahan besar pertama yang mengguncang masyarakat Tobelo Dalam datang melalui agama Kristen. Christopher R. Duncan, seorang peneliti yang telah lama mempelajari suku itu, mencatat bahwa masuknya agama Kristen tidak sepenuhnya mengubah identitas tradisional mereka, tetapi menambah lapisan baru pada cara mereka memandang dunia. Agama Kristen masuk dengan membawa janji-janji akan dunia yang lebih baik: pendidikan, layanan kesehatan, dan bantuan ekonomi yang sangat menarik bagi masyarakat yang sebelumnya terisolasi.
Banyak anggota komunitas, terutama generasi muda, melihat agama Kristen sebagai cara untuk meningkatkan taraf hidup mereka. Mereka mendapatkan akses ke hal-hal yang sebelumnya tidak ada---misalnya sekolah dan layanan kesehatan. Hal itu tentu memberikan dampak besar pada pola hidup mereka. Dahulu, suku Tobelo Dalam mungkin hanya mengenal hutan dan tradisi leluhur mereka. Tapi kini, mereka mengenal Tuhan dalam bentuk baru, serta peluang untuk memperbaiki kehidupan mereka.
Namun, di sisi lain, tidak semua orang merasa nyaman dengan perubahan tersebut. Generasi yang lebih tua, yang telah hidup dengan kepercayaan animisme dan sangat bergantung pada kearifan lokal, merasa bahwa agama baru itu membawa perubahan yang terlalu cepat. Konflik antargenerasi pun tidak terhindarkan. Yang muda melihat peluang untuk berkembang, sementara yang tua merasa bahwa cara hidup mereka sedang terancam. Ini adalah contoh yang sangat manusiawi tentang bagaimana setiap komunitas harus beradaptasi saat menghadapi tantangan dari luar.
Â
Industrialisasi dan potensi konflik antargenerasi
Perubahan besar berikutnya adalah datangnya industrialisasi, khususnya melalui industri nikel yang berkembang di Halmahera. Jika agama Kristen mengubah cara pandang masyarakat Tobelo Dalam tentang dunia spiritual, industrialisasi nikel membawa perubahan nyata dalam kehidupan sehari-hari mereka. Industri ini berkembang pesat di Halmahera karena kekayaan sumber daya alam yang melimpah. Sejak tahun 1980-an, berbagai perusahaan mulai masuk untuk mengeksploitasi sumber daya tersebut.
Industrialisasi membawa dua wajah bagi masyarakat Tobelo Dalam. Di satu sisi, banyak lahan yang dulu menjadi tempat mereka berburu dan meramu mulai berubah fungsi. Hutan yang sebelumnya menjadi tempat tinggal mereka kini terancam oleh eksploitasi tambang dan pembangunan infrastruktur. Tentu saja ini membawa dampak langsung pada cara hidup mereka. Banyak yang menyebut hal itu sebagai perampasan ruang hidup, dan memang benar bahwa beberapa anggota komunitas merasa terusir dari tanah leluhur mereka.