Mohon tunggu...
Abi Hasantoso
Abi Hasantoso Mohon Tunggu... Akuntan - Jurnalis

Lahir di Jakarta pada 26 Februari 1967. Berkecimpung di dunia jurnalistik sebagai wartawan Majalah HAI pada 1988 - 1994. Selama bekerja di majalah remaja itu ia sempat meliput konser musik New Kids On The Block di Selandia Baru dan Australia serta Toto dan Kriss Kross di Jepang. Juga menjadi wartawan Indonesia pertama yang meliput NBA All Star Game di Minnesota, AS. Menjadi copywriter di tiga perusahaan periklanan dan menerbitkan buku Namaku Joshua, biografi penyanyi cilik Joshua Suherman, pada 1999. Kini, sembari tetap menulis lepas dan coba jadi blogger juga, Abi bekerja di sebuah perusahaan komunikasi pemasaran.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Antara Tradisi dan Modernitas: Mitos Statisnya Masyarakat Adat Tobelo Dalam

2 Oktober 2024   06:54 Diperbarui: 7 Oktober 2024   10:16 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Memandang sebuah masyarakat manusia laiknya preparat atau spesimen dalam tabung vakum percobaan ilmiah, bukan saja tidak bisa, melainkan salah sama sekali. Kesalahan fatal, yang bila mengutip Pramoedya Ananta Toer tergolong "sejak dari pikiran". Masyarakat atau komunitas manusia juga tak bisa diasumsikan memakai dogma "ceteris paribus" dalam ilmu ekonomi, yang dalam realitas pun sejatinya tak pernah terbukti.

Dengan demikian, berharap satu masyarakat manusia tetap tak mengalami perubahan adalah kesia-siaan, bahkan boleh dibilang mustahil. Manusia dan kehidupannya nyaris 100 persen memenuhi diktum purba yang dikemukakan flsuf Yunani Herakleitos, "Panta rei---semua mengalir, segalanya berubah".

Demikian pula dengan suku Tobelo Dalam (O'Hongana Manyawa) yang tinggal di pedalaman Halmahera Utara. Terlalu naif berharap masyarakat tersebut tetap statis dalam keterbelakangan mereka sebagaimana abad ke-17 lalu. Sementara, data sejarah pun menegaskan, pada akhir abad 18 sudah banyak di antara orang-orang Tobelo yang menjadi bagian pasukan Sultan Nuku. Tentu saja, mereka juga memakai seragam laiknya prajurit Tidore lain. Artinya, saat itu mereka pun sudah berpakaian layaknya anggota komunitas lain yang telah menikmati peradaban.

Memang sering terjadi keganjilan berupa falsifikasi (pemalsuan atau manipulasi), bahkan dari pihak -pihak yang seharusnya menjaga kebenaran. Misalnya, yang terjadi pada bangsa Indian, terutama yang mendiami wilayah-wilayah yang kini disebut Amerika Serikat pada akhir abad 19. Pada saat itu sejatinya kaum Indian---apalagi yang berada di reservasi---sudah berpakaian modern. Namun di media, tampaknya ada desakan untuk tetap menegaskan bahwa mereka belum lagi berpakaian 'layak' laiknya orang-orang modern.

Hal itu dikuatkan dengan banyak hal. Fotografi dan seni yang dibuat selama abad ke-19 seringkali menampilkan penduduk asli Amerika dalam pakaian tradisional mereka, meskipun mereka sebenarnya berpakaian ala Barat. Fotografer seperti Edward Curtis, misalnya, kadang-kadang meminta subjek untuk mengenakan pakaian tradisional mereka guna menciptakan gambaran yang "otentik", meskipun mereka biasanya mengenakan pakaian modern pada kehidupan sehari-hari.

Propaganda pemerintah Amerika Serikat saat itu juga memiliki kepentingan untuk menggambarkan penduduk asli Amerika sebagai "primitif" untuk membenarkan kebijakan asimilasi ketat yang mereka berlakukan. Gambar-gambar yang menunjukkan orang Indian dalam "pakaian tradisional" sengaja disebarluaskan untuk menegaskan perbedaan budaya yang perlu "diperbaiki" melalui pendidikan dan asimilasi. Belum lagi penyajian dalam pertunjukan. Pada pertunjukan seperti Buffalo Bill's Wild West Show, penduduk asli Amerika sering kali diperlihatkan mengenakan pakaian tradisional untuk memenuhi ekspektasi penonton, meskipun di kehidupan nyata mereka sudah berpakaian modern.

Itu pula yang terjadi pada suku Tobelo Dalam.

Pengamatan Antropolog Christopher Duncan pada warga Tobelo Dalam yang disampaikan dalam artikel di The Asia Pacific Journal of Anthropology tahun 2001, berjudul "Savage imagery: (Mis)representations of the Forest Tobelo People", menunjukkan hal itu juga terjadi di Halmahera utara.

Berkaitan dengan urusan fulus, Duncan mencatat, seorang pegiat gereja menyelipkan foto orang-orang Tobelo Dalam yang hanya bercawat dalam proposal yang dia kirimkan ke lembaga gereja dunia.

"Saya berkali-kali mengunjungi Dororam dan melihat hanya dua laki-laki paruh baya yang hanya bercawat. Para perempuan pun tidak pernah tidak memakai baju," tulis Duncan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun