Sikap hidup dan kearifan lokal ini tak hanya harus diketahui kita sebagai kalangan luar, tapi juga harus menghormatinya. Karena hanya dengan mencoba memaklumi mereka dan cara berpikirnya, harmoni di antara orang luar dan warga Tobelo Dalam bisa terbangun dan terjaga.
Â
Namun, seperti juga diungkap penelitian etnografi yang dilakukan Dodi Rokhdian di kalangan Suku Anak Dalam untuk tesis masternya di Universitas Indonesia, ada hukum besi perubahan dalam kehidupan komunitas apa pun di dunia. Selalu ada orang (umumnya kebanyakan kalangan muda) dalam komunitas tersebut yang terpesona akan dunia di luar komunitasnya. Mereka ingin berubah dan mengenyam cara hidup "baru" tersebut.
Dodi, dalam tesisnya itu, menulis bahwa berlawanan dengan stereotip banyak kalangan, termasuk yang dicitrakan lembaga advokasi yang "membantu" mereka, pada dekade pertama milenium baru pun Suku Anak Dalam sudah mengenal telepon genggam dan berkomunikasi dengan perangkat tersebut di antara mereka. Menilik waktunya, itu tak jauh dari waktu kita - orang luar yang "berperadaban" - juga dimasuki budaya telepon genggam. Mereka juga sudah sangat terbiasa mengendarai motor ("honda" dalam istilah mereka).
Sementara LSM Warsi yang mengadvokasi mereka, pada media internal bernama "Alam Sumatera" Volume 1 No. 1/Januari 2001, masih suka menceritakan bagaimana Orang Rimba di Bukit Duabelas menjalankan kehidupannya dalam nuansa eksotis dan romantis, seakan Orang Rimba berbeda secara kontras dengan kehidupan masyarakat lainnya.
Hal yang juga dilihat Christopher Duncan dilekatkan pada citra tentang warga Tobelo Dalam, yang ia sampaikan dalam artikel yang terbit di The Asia Pasific Journal of Anthropology tahun 2001 berjudul "Savage imagery: (Mis)representation of the Forest Tobelo People".
Berkenaan dengan pencitraan buruk inilah, menurut Duncan, istilah Togutil dan stigma negatif yang menyertainya mencuat dan sengaja diciptakan oleh aktor-aktor eksternal di luar komunitas Tobelo Dalam.
"Padahal mayoritas dari mereka sudah mengadopsi cara berpakaian ala Barat. Laki-laki memakai baju dan celana, sementara para perempuan memakai sarung dan baju," tulis Duncan.
Ia mengakui, beberapa orang tua Tobelo Dalam yang tinggal di hutan masih sering bercawat. "Tapi mereka memakai baju dan celana saat pergi ke kota."
Citra primitif tersebut ternyata berkaitan juga dengan urusan fulus. Kata Duncan, seorang pegiat gereja menyelipkan foto orang-orang Tobelo Dalam yang hanya bercawat dalam proposal yang dia kirimkan ke lembaga gereja.
"Saya berkali-kali mengunjungi Dororam dan melihat hanya dua laki-laki paruh baya yang hanya bercawat. Para perempuan pun tidak pernah tidak memakai baju," tulis Duncan. "Tapi pegiat gereja itu berkeras bahwa foto orang Tobelo Dalam yang primitif harus dipertahankan saat merayu gereja memberi bantuan," tulisnya dalam jurnal tersebut.
Jelaslah, Tobelo Dalam bukanlah suku primitif tanpa peradaban. Bukan pula entitas yang tak pernah bersinggungan dengan pendatang yang memungkinkan kedua budaya saling mengambil dan memberi.
Misalnya, menurut Maria, O'Hongana Manyawa yang kini tinggal di permukiman program pemerintah di Desa Tutuling, Wasile Timur, Halmahera Timur, mengatakan bahwa pada 1990-an ia menikah dengan pria Tobelo Dalam bernama Mei. Dalam perkawinan itu ia menerima mas kawin kain Mandar.