Abduh juga mempertanyakan mengapa "Komunitas Masyarakat Adat Kabuyu" itu tidak menuntut dari awal, saat dilakukan proses HGU PT Mamuang. Situs berita lokal itu menulis, "Intinya, tidak ada tanah ulayat di wilayah HGU PT Mamuang, termasuk di wilayah Kabupaten Pasangkayu, karena terbukti tidak pernah menuntut dari awal saat proses HGU, termasuk tidak pernah secara tertulis menyurat ke Pemda Pasangkayu."
Jawaban yang sama juga datang dari para pegiat literasi dan sejarah Kaili di Palu dan Donggala. Aktivis dan mantan ketua AJI Â Sulteng, Iwan Lapasere, menyangsikan adanya masyarakat adat Kaili Tado di Pasangkayu. Bagaimanapun, kata dia, pusat dan asal orang-orang Kaili Tado tinggal adalah di dekat Danau Lindu, Kecamatan Lindu, di Kabupaten Sigi, yang berada di dalam Taman Nasional Lore Lindu. Jadi, ia sangsi bagaimana caranya orang-orang Kaili Tado punya tanah ulayat (tanah adat) di Pasangkayu, yang jaraknya mencapai ratusan kilometer dari wilayah Danau Lindu, wilayah asal mereka. Â
Budayawan senior TS Atjat juga mengatakan bahwa orang-orang Kaili Tado dikenal tinggal di Lindu. Demikian pula budayawan Kaili, Jamrin Abubakar. "Sepengetahuan saya, Kaili Tado itu bermukim di Kecamatan Lindu, Kabupaten Sigi, Provinsi Sulawesi Tengah," kata Jamrin di Donggala.
Nama Lindu sendiri, menurutnya, terkait ada legenda tertentu yang menceritakan proses terbentuknya desa tersebut sesuai mitologi berkelahinya anjing milik Sawerigading yang datang ke Lembah Palu, dengan seekor Lindu. Â Wilayah tersebut berada di dalam Taman Nasional Lore Lindu. Luasnya mencapai 34,88 km, berada di ketinggian sekitar 1.000 meter di atas permukaan laut. Â
Jafar Bua, pada Februari 2022 di blognya menulis sebuah artikel "Menelusuri Jejak To Kaili Tado di Ngata Katuvua Kabuyu". Pada artikel kritis itu Jafar memperlihatkan ketertarikannya akan ihwal keberadaan suku tersebut. Jafar mengutip buku Albertus Christiaan Kruyt (10 Oktober 1869--19 Januari 1949), "De West-Toradjas Op Midden-Celebes", yang terbit di Amsterdam pada 1938.
Tertulis, berdasarkan catatan penelitian Dr. S. J. Esser, ahli bahasa dari Belanda di Rio Pakava yang meneliti Sulawesi sejak 1928--1944, memang ada mereka yang mengaku sebagai To Tado, tapi mereka berbeda dialek bahasa dengan suku di Lindu, Sigi. Saat itu, Esser meneliti di Tinauka dan Pantolobete yang berada di wilayah Kecamatan Rio Pakava, Donggala, Sulawesi Tengah. Suku berbahasa Tado juga diketahui berada di Tuva, Gumbasa, Sigi. Mereka dikenal sebagai To Sinduru.
"Asal muasal dan keberadaan suku ini hanya diceritakan turun temurun. Namun lebih pada mitos daripada fakta. Sebab tak adanya bukti fisik atau artefak tertentu yang menandai awal mula keberadaan mereka," tulis Jafar.
Dari Dedi sendiri Jafar mengaku hanya mendapatkan jawaban berupa mitologi. "Kami berasal dari Tua Pamula. Kami adalah keturunan kedua setelah Suku Kaili Ledo," ujar Dedi, saat menceritakan mitos keberadaan sukunya. Tua Pamula yang diceritakan Dedi, kata Jafar, serupa dengan To Manuru atau To Manurung, manusia yang turun dari langit lalu menikah dengan manusia bumi kemudian menurunkan keturunan anak manusia.
"Sayangnya, selain bahasa lokal yang mereka gunakan, catatan mendalam tentang suku ini dalam buku itu tak dapat ditemukan," tulis Jafar.
Seperti kata Jafar dan banyak tokoh lain, yang sangat kurang adalah data dan bukti. Itu pula yang dikatakan Wayan dan Timotius. Kata Timotius, dalam sengketa agraria di Pasangkayu, nyaris tiada didukung oleh bukti. Â Termasuk, tentu saja, dalam gugatan agraria yang tengah bergolak di Pasangkayu. "Bukti kepemilikan, bukti pengolahan, kurang. Walau pun dibilang itu tanah adat, tanah ulayat, tidak ada bukti hitam atas putih atas tanah bekas lahan adat atau ulayat itu. Cerita saja tidak ada," kata Wayan. Â Â
Dulu, kata Wayan, di era gugatan Agung, pernah dikatakan bahwa perusahaan membabat habis tanaman cokelat, jeruk, pisang, dan tanaman lainnya milik warga, itu juga dipertanyakan Wayan.