Mohon tunggu...
Abi Hasantoso
Abi Hasantoso Mohon Tunggu... Akuntan - Jurnalis

Lahir di Jakarta pada 26 Februari 1967. Berkecimpung di dunia jurnalistik sebagai wartawan Majalah HAI pada 1988 - 1994. Selama bekerja di majalah remaja itu ia sempat meliput konser musik New Kids On The Block di Selandia Baru dan Australia serta Toto dan Kriss Kross di Jepang. Juga menjadi wartawan Indonesia pertama yang meliput NBA All Star Game di Minnesota, AS. Menjadi copywriter di tiga perusahaan periklanan dan menerbitkan buku Namaku Joshua, biografi penyanyi cilik Joshua Suherman, pada 1999. Kini, sembari tetap menulis lepas dan coba jadi blogger juga, Abi bekerja di sebuah perusahaan komunikasi pemasaran.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Suku Anak Dalam Sekarang Sudah Berubah Tertular Keserakahan Para Pendatang

26 Oktober 2021   14:03 Diperbarui: 26 Oktober 2021   14:08 295
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akibatnya, orang-orang Suku Anak Dalam makin terpojok sekali pun hanya untuk mendapatkan sumber-sumber makanan dalam hutan untuk mereka bertahan hidup.
 
Suku Anak Dalam yang sudah banyak berubah. Sejatinya dapat dikatakan tidak ada masyarakat Suku Anak Dalam yang tidak mengalami perubahan. Sebab bagaimana mungkin bisa tidak berubah manakala lingkungan, ruang hidup, pengalaman, dan tantangan kehidupan bagi Suku Anak Dalam pun sudah berubah banyak seiring perubahan yang terjadi di lingkungan mereka sejak tahun 1970 itu?
 
Perubahan, yang di awal tulisan berdasarkan celoteh Heraklitos, tak ubahnya hukum besi kehidupan tersebut, dalam konteks kehidupan Suku Anak Dalam memang seperti menjustifikasi teori sosial "The Challenge and Response" yang diusung Arnold Toynbee.

Masyarakat Suku Anak Dalam yang dihadapkan kepada kehidupan yang kian terpojok, ruang hidup yang semakin sempit, dan serangan (serta rayuan) budaya baru yang dibawa "Orang Terang" atau "Orang Kota" mau tak mau harus meresponsnya. Bahkan kalau pun mereka tinggal diam itu pun jelas merupakan sebuah respons atas tantangan kehidupan mereka. Jawaban mereka atas segala "tantangan" itu paling tidak sebagaimana yang bisa kita lihat saat ini.

Secara sederhana kini kita bisa membuat tiga kategori untuk masyarakat Suku Anak Dalam:

Pertama, Suku Anak Dalam yang bermukim di dalam hutan dan hidup berpindah-pindah. Mereka masih ada tetapi jelas sudah sangat terdesak, dengan lingkaran pengembaraan yang makin sempit, yang membuat bahan-bahan makanan pun kian langka untuk dikumpulkan.  
 
Kedua, Suku Anak Dalam Rimba yang hidup dalam hutan dan menetap. Jelas, pengaruh budaya "Orang Terang" sudah lebih jauh lagi meresap ke dalam kehidupan kelompok kedua ini. Alih-alih pengembara seperti nenek moyang mereka, Suku Anak Dalam kategori kedua ini sudah menetap dengan aneka keterbatasan yang semakin meminggirkan keberadaan mereka.
 
Ketiga, Suku Anak Dalam yang pemukimannya berdekatan dengan pemukiman "Orang Terang" (masyarakat  umum). Jenis ini mungkin sudah layak untuk dikatakan sebagai Suku Anak Dalam yang sebenarnya telah menjadi dan ingin menjadi "Orang Terang", hidup layaknya warga biasa dan berharap bisa menikmati kemakmuran, dalam standard hidup Suku Anak Dalam, sebagaimana kehidupan "Orang Terang".
 
Suku Anak Dalam kategori ketiga ini bahkan sudah layaknya masyarakat biasa. Berbaur dengan warga desa serta melakukan transaksi jual beli seperti yang dilakukan masyarakat biasa sehari-hari.
 
Namun, kalau pun katagori sederhana di atas valid, ada satu hal yang sama dan kuat menandai keberadaan ketiga kelompok tersebut: mereka semua komunitas yang kehilangan jati diri akibat kehilangan ruang hidup (lebensraum).

Sejatinya ada yang bolong pada setiap jiwa Suku Anak Dalam yang kini sudah berubah, disertai kegamangan tentang identitas, baik pribadi maupun kelompok.
 
Barangkali tidak sedramatis rasa kehilangan identitas yang dialami Suku Indian di Amerika Serikat akibat kedatangan bangsa-bangsa Eropa, yang dengan segera menjadi majikan-majikan baru di tanah air para pribumi.

Setidaknya, kita tidak melihat bar-bar dan warung minum di Jambi (kalau pun ada) yang dipadati orang-orang Suku Anak Dalam yang kehilangan jiwa seperti yang terlihat di bar-bar di Amerika Serikat, terutama di awal-awal abad keduapuluh. Belum ada pula laporan, baik laporan ilmiah atau pun laporan jurnalistik, yang cukup komprehensif tentang budaya mabok minum-minuman keras yang mengandung alcohol tinggi di lingkungan masyarakat Suku Anak Dalam.
 
Tetapi tentu saja itu bukan berarti di kalangan warga Suku Anak Dalam tidak ada "kekosongan" dalam jiwa-jiwa, gejala depresi, putus asa, dan rendah diri.  
 
Setidaknya mereka mengakui sudah sulit untuk bisa berlaku laiknya para leluhur mereka. Bukan tidak mau. Tetapi lebih kepada tidak bisa atau sudah sulit untuk melakukannya.
 
Misalnya, bukan karena tak mau kalau orang-orang Suku Anak Dalam tak lagi lazim melakukan "Besale", upacara pengobatan orang sakit manakala ada anggota keluarga mereka menderita sakit sementara jarak ke puskemas atau rumah sakit begitu jauh.

Namun biaya untuk "Besale" itu memang tidak tanggung-tanggung mahalnya, sekitar Rp 3.000.000. Wajar, karena melibatkan banyak keperluan dengan durasi pengobatan yang berjam-jam lamanya. Prosesi yang melibatkan tarian dukun itu memang umumnya perlu sembilan jam atau lebih dalam pelaksanaannya.
 
Ada lagi tradisi pernikahan orang-orang Suku Anak Dalam pun kini berubah sangat banyak, menyesuaikan dengan kondisi alam yang berubah sangat kontras.

"Dulu, kalau menikah secara adat, gadis-gadis kami harus melalui upacara adat 'Betangas', mandi uap yang menggunakan semua bunga dan daun di hutan. Sekarang tidak bisa lagi. Daun-daun, akar-akar hutannya, sudah tidak ada," kata seorang warga Suku Anak Dalam yang kini menetap bersama warga biasa, "Orang Terang" dan "Orang Kota", di Kecamatan Air Hitam, Kabupaten Sarolangun, Jambi. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun