Tanah dan akses terhadap sumber daya hutan saat ini dipandang lebih mampu menjamin keberlangsungan hidup yang meniscayakan banyak kebutuhan dibanding ikatan sosial sebagai sesama orang Suku Anak Dalam yang sejatinya tak lain sama-sama kaum tertindas.
Â
Pada sisi itu, orang-orang Suku Anak Dalam sudah laiknya "Orang Terang" atau "Orang Kota".
Sebab "Orang Kota" lah yang menurut penelitian profesor ahli psikologi Amerika Serikat terkemuka, Phillip Zimbardo, merupakan persona agresif dan cenderung bermental perusak, serta kurang memiliki tanggung jawab.
Tak jarang dari mereka, sebagaimana kata Erich Fromm kemudian, memiliki kepribadian necrofil, yakni kepribadian laiknya mayat. Mereka bisa merampas hak orang lain tanpa risih dan bisa menyiksa tanpa iba. Hati mereka sulit untuk bisa beresonansi, susah untuk ikut tergetar karena penderitaan sesama.
Semua perubahan yang terjadi di Suku Anak Dalam tampaknya bermula pada tahun 1970. Tahun itu menandai bermulanya kebijakan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) oleh pemerintah.
HPH adalah hak untuk mengusahakan kawasan hutan yang meliputi kegiatan-kegiatan penebangan kayu, permudaan dan pemeliharaan hutan (yang sangat jarang atau bahkan tak pernah dilakukan), dan pengolahan dan pemasaran hasil hutan sesuai dengan Rencana Karya Pengusahaan Hutan menurut ketentuan-ketentuan yang berlaku saat itu.
Intinya, pemerintah Indonesia berkeinginan mendapatkan devisa dari hutannya, sumber daya alam yang saat itu masih begitu melimpah.
Â
Sejak 1970 itu pula hutan-hutan di Indonesia, dalam kasus Suku Anak Dalam di Jambi, menjadi rebutan sekaligus arena konflik horizontal maupun vertikal. Mulai ada konflik antara warga desa ("Orang Terang" atau "Orang Kota") dengan masyarakat Suku Anak Dalam; warga desa dengan perusahaan-perusahaan pemegang HPH; masyarakat Suku Anak Dalam dengan perusahaan pemegang HPH; dan bahkan konflik internal di antara orang-orang Suku Anak Dalam karena mulai maraknya persoalan yang memperuncing perbedaan pendapat dalam pencarian solusi atas semua itu. Â
Â
Mulai tahun itu pula warga desa-desa di Jambi secara perlahan banyak berganti profesi, dari yang mulanya petani biasa akhirnya menjarah hutan menjadi pencuri kayu (ilegal loging) atau disebut bebalok dalam bahasa setempat. Pekerjaan bertani seperti menyadap karet dan sawit, yang merupakan pekerjaan mayoritas penduduk di Provinsi Jambi, lambat laun mereka tinggalkan karena merasakan hasil dari mencuri kayu di hutan jauh lebih menjajikan untuk masa depan.
Hingga kini, orang-orang Jambi selalu melihat tahun-tahun itu sebagai "zaman kayu" yang membawa banyak kemakmuran. Warga di sana tak pernah peduli kalau pun sebenarnya kawasan hutan yang mereka jarah itu berada di kawasan hutan lindung milik negara, yang dalam istilah manis "dikelola" perusahaan-perusahaan swasta.
Â
Mulai saat itu pula hukum-hukum adat, yang mengatur pemanfaatan sumber daya hutan, ditinggalkan.
Demikian pula kesepakatan-kesepakatan mengenai batas wilayah akses antara warga desa dan Suku Anak Dalam yang sebelumnya terjaga ketat. Dorongan untuk menguasai sumber daya alam di hutan lebih kuat karena gepokan uangnya pun dengan segera gampang terlihat.
Â
Konflik-konflik antara sesama Suku Anak Dalam yang ruang hidupnya kian terdesak dengan warga desa ("Orang Terang" atau "Orang Kota") dan aparat perusahaan yang berinvestasi di HPH pun semakin marak.
Sebagai contoh warga desa yang melakukan illegal logging dan menyebabkan kerusakan hutan dan pohon pada wilayah-wilayah yang dilindungi dan dianggap sakral oleh masyarakat Suku Anak Dalam masih mau membayar ganti rugi berupa denda adat.Â
Namun, lama-lama semakin banyak warga desa enggan membayar denda adat yang diwajibkan oleh Suku Anak Dalam dengan alasan tidak mengetahui adanya pohon-pohon yang dianggap sakral oleh Suku Anak Dalam.Â
Belakangan alasan itu kian "menantang" bahwa hutan adalah milik bersama sehingga tidak layak ada klaim sepihak sebagai layaknya "pemilik" yang dalam hal ini mereka tujukan kepada Suku Anak Dalam.
Â
Semua itu terus berlangsung. Hingga pada tahun 2009 dilaporkan sekitar 2,3 juta hektare kawasan jelajah masyarakat Suku Anak Dalam di Provinsi Jambi telah berubah menjadi perkebunan sawit, hutan tanaman industri (akasia), areal hak penguasaan hutan, dan pemukiman transmigrasi.