Ketika Negara kesatuan Republik Indonesia didirikan oleh para founding fathers kita, sebenarnya, persoalan negara dan agama sudah selesai.
Bahwa Indonesia adalah negara republik yang berketuhanan. Tiap warganya boleh memeluk agama yang dipercayai sesuai dengan keyakinan masing-masing sebagai bentuk "manunggaling kawulo gusti". Jelas Indonesia bukan negara agama, apalagi negara agama tertentu.
Selain agama, persoalan perbedaan etnis, suku, dan ras juga sejatinya sudah selesai.
Masalah agama dan keragaman ini, dan tiga sila lainnya, sudah kita sepakati dalam Pancasila yang menjadi dasar dan landasan negara kita, jalan hidup bangsa Indonesia, sejak 72 tahun lalu, bersamaan dengan proklamasi kemerdekaan negara yang kita cintai ini.
Tapi kini persoalan agama dan etnis/suku menjadi masalah serius kita bersama pada pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) untuk gubernur dan walikota/bupati di seluruh Indonesia yang pertama kali dimulai secara serentak tahun 2017 ini. Terutama pada pilkada di Ibukota. Di antara 101 daerah yang menggelar pilkada hanya Pilkada DKI Jakarta 2017 lah yang menjadi "center stage". Bahkan banyak pengamat politik menyebutnya sebagai "Pilkada rasa pilpres (pemilihan presiden)".
Harus diakui bahwa penyebab ini semua cuma lantaran satu orang: Ahok alias Basuki Tjahaja Purnama.Â
Seperti diketahui, popularitas Ahok - yang dalam dua tahun ini membangun dan membereskan masalah-masalah di ibukota - begitu tinggi. Bahkan saat ini popularitasnya dapat dikatakan melebihi popularitas Presiden Jokowi dan Donald Trump sekalipun.Â
Ahok, yang menerima warisan kursi gubernur dari Jokowi, terbukti berani melawan birokrasi dan anggota dewan yang selama ini cari kekayaan dengan cara memainkan anggaran. Ia juga terbukti sukses membangun infrastruktur, sistem transportasi, pendidikan, layanan kesehatan, dan memberantas praktek korupsi di ibukota. Dalam dua tahun ini Ahok ngebut membangun Jakarta jadi kota metropolitan.Â
Saat Ahok menyatakan diri maju sebagai kandidat calon gubernur DKI Jakarta, berpasangan dengan Djarot  Saiful Hidayat, sepertinya sulit bisa ditandingi oleh kandidat-kandidat lainnya.
Dalam pilkada saat ini, pada status Ahok lah kita diuji masalah kebangsaan kita terkait dua isu utama: agama dan etnis/suku. Sosok Ahok mewakili minoritas ganda: non-muslim dan non-pribumi.Â
Saat Ahok dituduh melakukan "kesalahan fatal" terkait agama mayoritas di situlah momentum untuk menghentikannya dalam pilkada kali ini. Isu agama jadi senjata untuk menembak Ahok. Kita semua sudah tahu bagaimana cara lawan-lawan Ahok memobilisasi massa, termasuk mendatangkan warga dari luar ibukota, untuk menstop Ahok dari arena pilkada. Bahkan ada orang-orang yang merasa dirinya suci dengan suara lantang penuh nafsu dan kebenciaan menyerukan membunuh Ahok dari atas mimbar saat berorasi di ruang publik.Â