Mohon tunggu...
Zaki Abigeva
Zaki Abigeva Mohon Tunggu... Wiraswasta - Menulis dan menulis

Manusia biasa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pentingnya Sanad Keilmuan

27 Januari 2020   12:12 Diperbarui: 27 Januari 2020   12:26 1059
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

"Sanad adalah senjatanya orang-orang beriman. Kalau bukan dengan senjata itu, lalu dengan apa mereka berperang?"

Senada dengan ucapan di atas Abdullah bin al-Mubarak mengatakan:

"Sanad itu bagian dari agama. Kalau bukan karena Isnad, pasti siapaun bisa berkata apa yang dia kehendaki."

Jika tradisi sanad keilmuan terus terjaga setidaknya kita bisa meminimalisir kecelakaan keilmuan yang dilakukan oleh para ahli bicara yang dianggap kyai atau ulama yang tiba-tiba muncul tanpa diketahui asal-usul riwayat ngajinya, siapa gurunya, bagaimana keluarganya dan seterusnya. Bicara panjang-lebar tentang agama namun kehadirannya bak sulapan "abrakadraba". Tragisnya orang semacam ini tak sedikit dengan sadar ataupun tidak sering "terpeleset" bicara.

Ironisnya lagi, saat ini umat Islam tidak lagi memperdulikan kualitas berita, info, fatwa ataupun hukum yang mereka dapatkan dan baca. Mereka lupa tradisi emas yang disusun oleh ulama-ulama dan pendahulu mereka. Sebagian umat Islam atau dzurriyah para ulama lebih gandrung dengan tulisan-tulisan modern dan mengenyampingkan karya ulama-ulama sepuh mereka. Mereka membaca dan mendengar sejarah dengan mengedepankan akal, keindahan bahasa dan kelucuannya saja. Tak lagi memperhatikan apakah riwayat yang dinukil buku-buku atau ucapan-ucapan tersebut benar atau tidak, nyleneh atau tidak, muktabar atau tidak. Standartnya hanya sebatas ketenaran dan kebebasan dalam berpikir.

Sangat tepat jika anak-anak kita yang di matanya terdapat binar masa depan Islam terus kita kawal, kenalkan dan dekatkan dengan ilmu, pesantren dan guru yang memiliki tradisi para sesepuh seperti layaknya manhaj Syekh Mahfudz di atas, yaitu tradisi ngaji kitab. Pasalnya dengan mengaji setidaknya kita dapat terus bersambung (irtibath) secara keilmuan dengan Baginda Nabi SAW dan terus mendapat bimbingan dari beliau, karena kita tahu orang "ngalim" itu banyak tapi yang kering dari petunjuk juga tak kalah banyak. Alih-alih mencerahkan masyarakat, tak jarang justru malah meresahkan umat.

Habib Mundzir al-Musawa saat berbicara tentang urgensi sanad keilmuan pernah berkata:

"Sanad bagaikan rantai emas terkuat yang tak bisa diputus dunia dan akhirat. Jika bergerak satu mata rantai maka bergerak pula seluruh mata rantai hingga ujungnya, yaitu Rasulullah SAW."

Wallahu a'lam Wallahul musta'an.

*) Mengenang satu abad wafatnya Syekh Mahfudz at-Turmusi (1920-2020)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun