Mohon tunggu...
Zaki Abigeva
Zaki Abigeva Mohon Tunggu... Wiraswasta - Menulis dan menulis

Manusia biasa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pentingnya Sanad Keilmuan

27 Januari 2020   12:12 Diperbarui: 27 Januari 2020   12:26 1059
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona


Di kalangan santri, pelajar atau akademisi siapa yang tak kenal Kyai Mahfudz bin Abdullah atau biasa dikenal dengan sebutan Syekh Mahfudz at-Turmusi atau at-Tarmasi. Seorang alim allamah dan cendikiawan yang wafat tepat satu abad lalu, yakni tahun 1920 Masehi. Namanya sangat tersohor di kalangan ulama Mekkah ataupun jaringan ulama nusantara. Semuanya tidak lepas dari berkah guru dan ilmu yang didapatkan dengan proses panjang dan berliku. Bukan dengan cara bantuan khodam apalagi sulapan.

Perjalanan intelektual Syekh Mahfudz berawal dalam asuhan ayahnya, Kyai Abdullah bin Abdul Manan. Baik ayahnya maupun kakeknya sama-sama pernah mukim dan ngaji di Kota Mekkah. Bahkan kakeknya, Kyai Abdul Manan menangi (mendapati) dan sempat belajar kepada dua ulama viral zaman itu, yakni Syekh Muhammad Syatha dan Syekh Ibrahim al-Bajuri pengarang Hasyiyah Kitab Fath al-Qarib al-Mujib karya Ibnu Qasim al-Ghazi atau biasa disebut Kitab Hasyiyah al-Bajuri.

Apa itu hasyiyah? Bagi yang belum paham tentang istilah ini berikut akan kami paparkan agar lebih utuh dan gamblang memahami apa yang kami sampaikan.

Hasyiyah merupakan inovasi tulis menulis dalam khazanah literatur dunia Islam. Tujuannya adalah untuk menjembatani pemahaman akan sebuah karya atau kitab. Saat kaum muslimin kesulitan dalam memahami sebuah matan, para ulama berlomba-lomba membuat karangan dalam bentuk syarah. Setelah kitab syarah tidak mampu lagi menjelaskan kandungan matan maka muncul inovasi untuk menyegarkan pemahaman matan dan syarah, lalu lahirlah istilah hasyiyah. 

Jika ditelisik, bibit kemunculan inovasi hasyiyah untuk pertama kali bermula dari sosok Imam Nawawi. Beliau adalah tokoh pertama yang mengenalkan metode penulisan semacam ini dalam karyanya Daqa'iq al-Minhaj. Kemudian diikuti ulama-ulama setelahnya termasuk Syekh Mahfudz sendiri, karena beliau juga memiliki karya berupa hasyiyah yang dikenal dengan Kitab Hasyiyah at-Turmusi selain 17 kitab karya beliau lainnya.

Kembali ke al-Bajuri, kenapa begitu masyhur kitab ini di kalangan pesantren? Salah satu alasannya adalah pengaruh Kyai Abdul Manan kakek dari Syekh Mahfudz yang pernah bersinggungan langsung dengan Imam al-Bajuri yang kemudian menyebarkan kepada murid-muridnya dan disebarkan lagi oleh mereka di seantero tanah Jawa. Hingga kini kita dapat mendapati pengajian dan pengkajian karya tersebut dengan mudah di pesantren-pesantren kalangan NU di negeri ini.

-----
Setelah belajar dengan ayahnya, Syekh Mahfudz juga pernah belajar kepada Kyai Sholeh Darat Semarang. Tak lama setelah itu beliau melanjutkan tradisi intelektual sesepuhnya dengan berangkat menuju tanah suci. Di sana beliau menuntut ilmu dan mengaji dengan ulama-ulama masyhur seperti:
1. Syekh Bakri bin Muhammad Syatha pengarang Kitab i'anah at-Thalibin. Dari sini beliau mendapat sanad keilmuan sebagaimana yang ada dalam kumpulan sanad asy-Syarqawi dan asy-Syinwani.
2. Sayyid Husein bin Muhammad al-Habsyi, seorang ahli hadits.
3. Syekh Muhammad Said Babushail, seorang murid dari Syeikh Zaini Dahlan.
4. Syekh Nawawi al-Bantani. Serta masih banyak guru-guru lainnya.

Sedangkan murid-murid beliau dari kalangan ulama nusantara di antaranya:
1. Syekh Ali bin Abdullah bin Muhammad Arsyad al-Banjari.
2. Kyai Dimyathi bin Abdullah at-Turmusi (adik beliau yang menelurkan banyak ulama di Jawa).
3. Syekh Baqier bin Muhammad Nur al-Juqjawi al-Jawi
4. Kyai Hasyim Asy'ari Jombang
5. Kyai Wahab Hasbullah Jombang
6. Kyai Ihsan Jampes Kediri
7. Kyai Abdul Muhith bin Ya'qub Surabaya
8. Kyai Baidhowi bin Abdul Aziz Lasem.
9. Kyai Maksum bin Ahmad Lasem
10. Kyai Khalil Lasem
11. Syekh Abdul Qadir bin Shabir al-Mandaili.
12. Kyai Muhaimin bin Abdul Aziz Lasem
13. Kyai Shiddiq bin Abdullah bin Shalih Lasem.
14. Syekh Muhammad Baqir al-Jawi Banyumas
15. Kyai R. Asnawi Kudus
16. Kyai Bishri Syansuri Jombang, dan lain-lain.

Dari murid-murid yang disebutkan di atas bisa dikatakan bahwa Syekh Mahfudz dapat disejajarkan dengan Syekh Khalil Bangkalan yang sama-sama menjadi mahaguru para pendiri jam'iyyah Nahdhatul Ulama. Tak mengejutkan jika beliau kemudian mendapat julukan "Syaikh al-masyayikh al-Alam wa Qudwah al-Anam" (Guru besarnya para guru besar dan panutan bagi manusia).

Dari sini akhirnya memunculkan satu kesimpulan penting bahwa kebesaran jam'iyyah NU tidak lepas dari tradisi ngaji kitab yang secara otomatis lekat dengan tradisi sanad. Sekali lagi, NU dirawat dan dibesarkan dari tradisi ngaji dan dari kecintaan pendiri dan pembesarnya terhadap ilmu. Bukan dari proyek bantuan apalagi sekedar kursi jabatan.

Dan pemaparan panjang lebar tentang perjalanan keilmuan Syekh Mahfudz at-Turmusi di atas setidaknya mengingatkan kita tentang pentingnya sanad keilmuan. Imam Sufyan ats-Tsaury mengatakan:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun