Novel "Do Androids Dream of Electric Sheep?" adalah novel fiksi ilmiah karangan Philip K. Dick yang menggambarkan dunia pasca-apokaliptik pada tahun 2021, di mana Bumi telah hancur akibat perang nuklir. Radiasi menyelimuti planet ini, membuat sebagian besar manusia bermigrasi ke koloni di luar angkasa, seperti Mars. Mereka yang tinggal di Bumi hidup dalam lingkungan yang suram dan rusak, seringkali ditemani oleh hewan peliharaan elektrik karena banyak spesies asli telah punah. Hewan hidup dianggap simbol status sosial yang tinggi, sedangkan hewan elektrik menjadi solusi bagi mereka yang tidak mampu membeli hewan sungguhan.
Tokoh utama, Rick Deckard, adalah seorang bounty hunter yang bertugas 'memensiunkan' android pemberontak. Android, yang disebut Nexus-6, adalah makhluk buatan dengan kecerdasan dan fisik yang hampir tidak dapat dibedakan dari manusia. Mereka diciptakan untuk melayani koloni manusia di luar angkasa, tetapi beberapa android melarikan diri ke Bumi untuk mencari kebebasan. Rick ditugaskan untuk menemukan dan memensiunkan enam android yang melarikan diri.
Di tengah misinya, Rick menghadapi dilema moral dan emosional. Salah satu android, Rachael Rosen, adalah ciptaan Rosen Association, perusahaan yang memproduksi Nexus-6. Rachael tidak hanya cerdas, tetapi juga menampilkan emosi yang kompleks, seperti rasa takut dan bahkan cinta. Interaksi Rick dengan Rachael membuatnya mempertanyakan perbedaan mendasar antara manusia dan android. Selain itu, dia mulai merasakan kelelahan emosional akibat pekerjaannya, terutama ketika dia menyadari bahwa tindakan "memensiunkan" android terasa mirip dengan pembunuhan.
Apakah Empati adalah Satu-satunya Pembeda Manusia?
Dalam novel, empati dianggap sebagai ciri khas manusia yang paling mendasar. Tes Voight-Kampff digunakan untuk mendeteksi kemampuan empati dan membedakan manusia dari android. Namun, situasi menjadi kompleks ketika beberapa android tampak mampu memahami perasaan manusia atau bahkan sesama android.
Albert Borgmann, seorang filsuf teknologi, menyoroti bagaimana teknologi sering menggantikan hubungan autentik manusia dengan dunia nyata melalui konsep device paradigm. Borgmann berpendapat bahwa teknologi cenderung mengaburkan pengalaman autentik dengan menggantinya dengan kemudahan dan efisiensi. Jika android dapat meniru empati, menurut Borgmann, itu hanya akan menjadi simulasi yang dangkal, bukan pengalaman yang otentik. Baginya, empati manusia berasal dari keterlibatan langsung dalam dunia nyata, yang tidak dapat sepenuhnya ditiru oleh teknologi atau android.
Empati manusia adalah hasil dari pengalaman emosional yang kompleks dan hubungan sosial yang mendalam. Android, meskipun mampu memproses data dan merespons secara emosional, tidak memiliki konteks pengalaman hidup nyata. Dengan demikian, empati mereka tetap artifisial dan kurang memiliki kedalaman moral yang sama seperti empati manusia.
Jika Teknologi (dalam novel Ini digambarkan oleh Android) Mampu Menunjukkan Perasaan, Apakah Mereka Layak Dianggap Sebagai Manusia?
Android dalam novel, seperti Rachael Rosen, menunjukkan emosi yang hampir tidak dapat dibedakan dari manusia. Mereka memiliki keinginan untuk hidup, rasa takut, dan bahkan cinta. Hal ini menantang definisi manusia yang tradisional.
Borgmann mungkin menganggap bahwa perasaan android adalah hasil dari rekayasa teknologi, bukan manifestasi dari kesadaran otentik. Menurutnya, manusia terhubung dengan dunia melalui tindakan dan pengalaman yang nyata, sedangkan android tidak memiliki hubungan tersebut. Teknologi, dalam pandangan Borgmann, sering menciptakan ilusi autentisitas, tetapi pada dasarnya hanya mereplikasi permukaan, bukan esensi. Oleh karena itu, meskipun android menunjukkan perasaan, mereka tidak dapat dianggap sebagai manusia karena mereka tidak memiliki keterlibatan eksistensial dengan dunia nyata.
Apakah Manusia Kehilangan Kemanusiaannya Ketika Bertindak Tanpa Empati?