Homo Simbolico
Dalam pandangan Jacques Lacan, manusia adalah homo simbolico, makhluk yang hidup dan membentuk dirinya melalui simbol-simbol. Bahasa, norma, dan aturan sosial menjadi dasar tatanan simbolik yang memungkinkan manusia memahami dunia sekaligus memosisikan diri di dalamnya. Siswa sebagai manusia, juga tidak terlepas dari tatanan ini. Mereka berkembang dengan mempelajari simbol-simbol yang dikenalkan melalui pendidikan, mulai dari bahasa hingga norma sosial. Proses ini membentuk identitas mereka, tetapi juga menyisakan ruang bagi ketegangan antara makna simbolik dan pengalaman langsung yang sering kali tidak sepenuhnya selaras. Dengan demikian, siswa tidak hanya belajar mengenali simbol, tetapi juga menavigasi dunia yang sarat dengan interpretasi simbolik.
Tiga Tahap Realitas Simbolik Lacan
Dalam teori Lacan, kehidupan manusia terbagi ke dalam tiga tatanan utama: the Imaginary, the Symbolic, dan the Real. The Imaginary merujuk pada tahap awal kehidupan, di mana individu membangun pemahaman diri melalui cermin dan hubungan dengan gambaran-gambaran yang sering kali bersifat ilusi. Pada tahap ini, siswa cenderung memahami dunia secara visual dan emosional, berdasarkan gambaran yang tampak nyata tetapi belum sepenuhnya terhubung dengan struktur simbolik. Dalam dunia pendidikan, tahap mirror stage yang terkait dengan the Imaginary dapat terlihat ketika siswa mulai membandingkan diri mereka dengan teman-temannya, baik dalam hal prestasi akademik, penampilan, maupun hal hal komunikasi sosial. Misalnya, seorang siswa yang melihat teman sekelasnya berhasil mendapatkan prestasi mungkin merasa bahwa dirinya kurang berharga jika tidak dapat menyamai pencapaian tersebut. Dia akan melihat ke dalam dirinya sendiri dan mulai membandingkan dengan subjek-subjek yang berada di sekelilingnya. Proses ini mencerminkan pembentukan identitas melalui gambaran yang menurut mereka ideal yang belum sepenuhnya terhubung dengan realitas.
The Symbolic, yang menjadi fokus utama pendidikan, adalah tatanan di mana individu memasuki dunia bahasa, norma, dan aturan sosial. Proses ini memungkinkan siswa memahami dunia melalui simbol-simbol yang diajarkan di sekolah. Namun, terdapat celah yang tak terhindarkan dengan the Real, yaitu tatanan yang melampaui simbol dan imajinasi, mencerminkan realitas murni yang sulit untuk sepenuhnya dipahami atau dilambangkan. Dalam konteks pendidikan tinggi, misalnya, siswa yang bercita-cita masuk ke universitas ternama mungkin menghadapi tekanan untuk mencapai nilai tinggi dan prestasi akademik yang diharapkan. Ketika gagal mencapai harapan tersebut, mereka dihadapkan pada the Real-realitas murni berupa kekecewaan dan rasa gagal yang tidak dapat dilambangkan sepenuhnya oleh simbol-simbol seperti nilai atau penghargaan. Momen ini sering kali memicu refleksi mendalam dan pengalaman emosional yang sulit diolah dalam kerangka simbolik 'tradisional'.
Pendidikan memainkan peran kunci dalam membawa siswa ke dalam tatanan simbolik. Proses ini berlangsung melalui pengajaran bahasa, budaya, dan nilai-nilai yang diterima secara sosial. Di lingkungan sekolah, siswa diajarkan cara berkomunikasi, memahami aturan, serta memposisikan diri dalam masyarakat. Dalam hal ini, guru berperan sebagai the big Other, yaitu representasi otoritas simbolik yang memberikan panduan kepada siswa untuk memahami makna di balik simbol dan norma yang mereka pelajari. Guru, sebagai figur the big Other, tidak hanya mewakili institusi pendidikan, tetapi juga norma, nilai, dan harapan masyarakat secara lebih luas. The big Other memberikan legitimasi pada simbol-simbol yang diajarkan, membantu siswa menafsirkan dunia simbolik dengan cara yang sesuai dengan struktur sosial. Selain guru, institusi pendidikan, buku pelajaran, dan bahkan sistem penilaian juga dapat berfungsi sebagai Other, yang memengaruhi cara siswa memahami dan mematuhi norma-norma yang ada.
Namun, seperti yang dijelaskan Lacan, selalu terdapat celah antara "diri sejati" individu ("the real") dan identitas yang dikonstruksi oleh dunia simbolik. Dalam konteks pendidikan, celah ini sering terungkap ketika siswa merasa tidak mampu memenuhi ekspektasi simbolik yang diajarkan di sekolah, yang dapat memicu rasa keterasingan atau kebingungan. Misalnya, seorang siswa yang bercita-cita masuk ke universitas ternama dengan harapan mendapat pengakuan sosial, tetapi akhirnya gagal meskipun telah bekerja keras. Kegagalan tersebut menghadapkan siswa pada the Real (realitas yang tidak dapat diwakili oleh simbol-simbol seperti nilai, sertifikat, atau status sosial). Dalam momen ini, siswa mungkin mengalami kepahitan dan ketidakpastian yang melampaui norma atau kerangka simbolik yang telah mereka pelajari, mencerminkan kenyataan murni yang tidak terduga dan sulit untuk diterima.
Tantangan utama pendidikan di era modern adalah munculnya simbol-simbol baru yang dihasilkan oleh teknologi dan media sosial. Dunia digital menciptakan hiperrealitas yang sering kali bertentangan dengan norma dan nilai tradisional yang diajarkan di sekolah. Misalnya, media sosial mempromosikan simbol-simbol kesuksesan instan, gaya hidup konsumtif, dan hiburan cepat, yang sering kali berlawanan dengan nilai-nilai seperti kerja keras, ketekunan, dan tanggung jawab yang ditanamkan di ruang kelas oleh guru. Akibatnya, siswa dihadapkan pada benturan antara dunia simbolik tradisional dan dunia simbolik digital yang lebih menarik secara visual dan emosional. Fenomena ini tidak hanya mengubah cara siswa memahami dunia, tetapi juga menantang struktur pendidikan tradisional untuk menyesuaikan diri dengan dinamika modern.
Dalam dunia simbolik Lacanian, rasa kekurangan (lack) adalah suatu kondisi yang tak terelakkan. Individu selalu merasa ada sesuatu yang hilang atau tidak terpenuhi, karena tidak ada identitas simbolik yang sepenuhnya dapat mewakili realitas mereka. Dalam konteks pendidikan, hal ini sering terwujud dalam bentuk tekanan yang dirasakan siswa untuk memenuhi ekspektasi akademik atau sosial yang ideal tetapi tidak realistis. Sistem pendidikan yang terlalu berorientasi pada hasil, seperti nilai, peringkat, atau sertifikasi, sering kali mereduksi proses pembelajaran menjadi sekadar simbol keberhasilan, tanpa memberikan ruang bagi pengalaman dan pemahaman yang mendalam.
Apa yang harus Guru lakukan?
Untuk menghadapi tantangan ini, pendidikan perlu menjadi ruang di mana siswa dapat menyadari dan mengkritisi struktur simbolik yang membentuk mereka. Guru memiliki peran penting untuk membantu siswa memahami perbedaan antara realitas dan simbol yang mengelilingi mereka. Melalui dialog-dialog antar dan interpersonal kepada siswa, guru dapat mendorong siswa untuk mendiskusikan bagaimana media, teknologi, dan norma sosial memengaruhi cara mereka berpikir dan bertindak.Â
Guru harus mampu menjelaskan bahwa yang terlihat di media sosial adalah kebanyakan hiperrealitas yang jauh dari realitas pendidikan sehari-hari. Guru harus mampu meyakinkan siswa bahwa simbol-simbol kesuksesan dan kesenangan instan yang ditampilkan oleh media sosial banyak bertententangan dengan nilai kerja keras, ulet, tekun, pantang menyerah yang terjadi di kehidupan.Â