Mohon tunggu...
Abidin Khusaeni
Abidin Khusaeni Mohon Tunggu... Pustakawan - Suka nulis

I am Good man

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Menjadi Ilmuan Bijak

18 November 2024   09:05 Diperbarui: 18 November 2024   09:06 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Ilmu merupakan sesuatu yang paling penting bagi umat manusia, karena dengan ilmu semua keperluan dan kebutuhan manusia bisa terpenuhi secara cepat dan mudah. Merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat dipungkiri bahwa peradaban manusia sangat berhutang pada ilmu. Ilmu telah banyak mengubah wajah dunia seperti hal memberantas penyakit, kelaparan, dan berbagai wajah kehidupan yang sulit lainnya. Dengan kemajuan ilmu juga manusia bisa merasakan kemudahan lainnya seperti transportasi, pemukiman, komunikasi dan lain sebagainya. Singkatnya ilmu merupakan sarana untuk membantu manusia dalam mencapai tujuan hidupnya. Perkembangan Ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) disatu sisi memang berdampak positif, yakni dapat memperbaiki kualitas hidup manusia. Berbagai sarana modern industry, komunikasi, dan transportasi, misalnya terbukti amat bermanfaat. Tetapi disisi lain, tak jarang iptek berdampak negatif karena merugikan dan membahayakan kehidupan dan martabat manusia. Bom atom telah menewaskan ratusan ribu manusia di Hirosima dan Nagasaki pada tahun 1945 (Perang Dunia II).

Kemudian timbul pertanyaan, apakah ilmu selalu merupakan berkah dan penyelamat bagi umat manusia? Memang sudah terbukti, dengan kemajuan ilmu pengetahuan, manusia dapat menciptakan berbagai bentuk teknologi . Misalnya, pembuatan bom yang pada awalnya untuk memudahkan kerja manusia (meledakan gunung/bukit untuk memberikan akses jalan), namun kemudian dipergunakan untuk hal-hal yang bersifat negatif yang menimbulkan malapetaka bagi umat manusia itu sendiri. Oleh sebab itu, ilmu harus diletakkan secara proporsional dan memihak pada nilai-nilai kebaikan dan kemanusian. Sebab, jika ilmu tidak berpihak pada nilai-nilai, maka yang terjadi adalah bencana dan malapetaka.

Setiap ilmu pengetahuan akan menghasilkan teknologi yang kemudian akan diterapkan pada masyarakat. Proses ilmu pengetahuan menjadi sebuah teknologi yang benar dapat dimanfaatkan oleh masyarakat tentu tidak terlepas dari penciptanya dalam hal ini ilmuwan. Seorang ilmuwan akan dihadapkan pada kepentingan-kepentingan pribadi ataukah kepentingan masyarakat akan membawa pada persoalan etika keilmuan yang dimiliki. Untuk itulah tanggungjawab seorang ilmuan haruslah ditanamkan pada tempat yang tepat, tanggungjawab akademis, dan tanggungjawab moral.

Kata ilmu dalam bahasa Arab   ilm    yang berarti memahami, mengerti, atau mengetahui. Dalam kaitan penyerapan katanya, ilmu pengetahuan dapat berarti memahami suatu pengetahuan. Istilah ilmu pengetahuan diambil dari kata bahasa Inggris science, yang berasal dari bahasa Latin scientiadari bentuk kata kerja scire yang berarti mempelajari , mengetahui. The Liang Gie memberikan pengertian ilmu adalah rangkaian aktivitas penelaahan yang mencari penjelasan suatu metode untuk memperoleh pemahaman secara rasional empiris mengenai dunia ini dalam berbagai seginya, dan keseluruhan pengetahuan sistematis yang menjelaskan berbagai gejala yang ingin dimengerti manusia (Ihsan Fuad, 2010:108).

Ilmu harus diusahakan dengan aktivitas manusia, aktivitas itu harus dilaksanakan dengan metode tertentu, dan akhirnya aktivitas metodis itu mendatangkan pengetahuan yang sistematis. Dari aktivitas ilmiah dengan metode ilmiah yang dilakukan oleh para ilmuwan dapatlah dihimpun sekumpulan pengetahuan yang baru atau disempurnakan pengetahuan yang telah ada, sehingga di kalangan ilmuwan pada umumnya terdapat kesepakatan bahwa ilmu adalah suatu kumpulan pengetahuan yang sistematis (Surajiyo,2009:56-57).

Ilmu pengetahuan atau pengetahuan ilmiah menurut The Liang Gie mempunyai lima ciri pokok: 1) Empiris, pengetahuan diperoleh berdasarkan pengamatan dan percobaan; 2) Sistematis, berbagai keterangan dan data yang tersusun sebagai kumpulan pengetahuan itu mempunyai hubungan ketergantungan dan teratur; 3) Objektif, pengetahuan itu bebas dari prasangka perseorangan dan kesukaan pribadi; 4) Analitis, pengetahuan ilmiah berusaha membedakan pokok soalnya ke dalam bagian yang terperinci untuk memahami berbagai sifat, hubungan, dan peranan dari bagian-bagian itu; dan 5) Verifikatif, dapat diperiksa kebenarannya oleh siapapun juga (Surajiyo,2009:59).

Kemudian terkait moral, moral berasal dari kata Latin mos jamaknya mores yang berarti adat atau cara hidup. Etika dan moral sama artinya, tetapi dalam penilaian sehari-hari ada sedikit perbedaan. Moral dan atau moralitas dipakai untuk perbuatan yang sedang dinilai. Adapun etika dipakai untuk pengkajian sistem nilai yang ada (Surajiyo,2009:147). Frans Magnis Suseno membedakan ajaran moral dan etika. Ajaran moral adalah ajaran, wejangan, khotbah, peraturan lisan atau tulisan tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar ia menjadi manusia yang baik. Sumber langsung ajaran moral adalah pelbagai orang dalam kedudukan yang berwenang seperti orangtua dan guru, para pemuka masyarakat dan agama, serta tulisan para bijak. Etika bukan sumber tambahan bagi ajaran moral, tetapi filsafat atau pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran dan pandangan moral. Etika adalah sebuah ilmu dan bukan sebuah ajaran. Jadi, etika dan ajaran moral tidak berada ditingkat yang sama (Surajiyo,2009:147).

Kata moral dalam bahasa Yunani sama dengan ethos yang melahirkan etika. Sebagai cabang filsafat, etika sangat menekankan pendekatan yang kritis dalam melihat nilai (takaran, harga, angka kepandaian, kadar/mutu, sifat-sifat yang penting/berguna) dan moral tersebut serta permasalahan-permasalahan yang timbul dalam kaitan dengan nilai dan moral itu (Ihsan Fuad, 2010:271). Moral merupakan kondisi pikiran, perasaan, ucapan, dan perilaku manusia yang terkait dengan nilai-nilai baik dan buruk. Manusia yang tidak memiliki moral disebut amoral artinya dia tidak bermoral dan tidak memilki nilai positif di mata manusia lainnya. Sehingga moral adalah hal mutlak yang harus dimiliki oleh manusia. Moral itu sifat dasar yang diajarkan di sekolah dan manusia harus mempunyai moral jika ia ingin dihormati oleh sesamanya. Moral adalah perbuatan/tingkah laku/ucapan seseorang dalam berinteraksi dengan manusia. Apabila yang dilakukan seseorang itu sesuai dengan nilai rasa yang berlaku di masyarakat tersebut dan dapat diterima serta menyenangkan lingkungan masyarakatnya, maka orang itu dinilai mempunyai moral yang baik, begitu juga sebaliknya. Moral adalah produk dari budaya dan agama. Moral juga dapat diartikan sebagai sikap,perilaku, tindakan, kelakuan yang dilakukan seseorang pada saat mencoba melakukan sesuatu berdasarkan pengalaman, tafsiran, suara hati, serta nasihat.

Penerapan dari ilmu pengetahuan dan teknologi membutuhkan dimensi etis sebagai pertimbangan dan mempunyai pengaruh pada proses perkembangan lebih lanjut ilmu pengetahuan dan teknologi. Tanggung jawab etis merupakan sesuatu yang menyangkut kegiatan maupun penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam hal ini berarti ilmuwan dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi harus memperhatikan kodrat manusia, martabat manusia, menjaga keseimbangan ekosistem, bertanggung jawab pada kepentingan umum, kepentingan generasi mendatang, dan bersifat universal, karena pada dasarnya ilmu pengetahuan dan teknologi adalah untuk mengembangkan dan memperkokoh eksistensi manusia bukan untuk menghancurkan eksistensi manusia (Ihsan Fuad,2010:280).

Jadi ilmu yang diusahakan dengan aktivitas manusia harus dilaksanakan dengan metode tertentu sehingga mendatangkan pengetahuan yang sistematis. Manusia harus mempunyai moral jika ia ingin dihormati sesamanya. Untuk menerapkan ilmu pengatahuan dan teknologi membutuhkan dimensi etis sebagai pertimbangan untuk proses perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Ilmu dan moral

Sejak saat pertumbuhannya, ilmu sudah terkait dengan masalah moral. Ketika Copernicus (1473-1543) mengajukan teorinya tentang kesemestaan alam dan menemukan bahwa   bumi yang berputar mengelilingi matahari   dan bukan sebaliknya seperti yang dinyatakan dalam ajaran agama maka timbulah interaksi antara ilmu dan moral (yang bersumber pada ajaran agama) yang berkonotasi metafisik. Secara metafisik ilmu ingin mempelajari alam sebagaimana adanya (netralitas ilmu), sedangkan di pihak lain terdapat keinginan agar ilmu mendasarkan kepada pernyataan-pernyataan (nilai-nilai) yang terdapat dalam ajaran-ajaran di luar bidang keilmuan (nilai moral), seperti agama. Dari interaksi ilmu dan moral tersebut timbullah konflik yang bersumber pada penafsiran metafisik yang berkulminasi pada pengadilan inkuisi Galileo pada tahun 1633. Galileo oleh pengadilan agama dipaksa untuk mencabut pernyataan bahwa bumi berputar mengelilingi matahari (Suriasumantri Jujun S, 1996).

Merupakan kenyataan yang tidak bisa dipungkiri bahwa peradaban manusia sangat berhutang kepada ilmu dan teknologi. Berkat kemajuan dalam bidang ini maka pemenuhan kebutuhan manusia bisa dilakukan secara lebih cepat dan lebih mudah disamping penciptaan berbagai kemudahan dalam bidang-bidang seperti kesehatan, pengangkutan, pemukiman, pendidikan, dan komunikasi (Suriasumantri Jujun S, 2000:229).

Sejak dalam tahap-tahap pertumbuhannya ilmu sudah dikaitkan dengan tujuan perang. Ilmu bukan saja digunakan untuk menguasai alam melainkan juga untuk memerangi sesama manusia. Berbagai macam senjata pembunuh berhasil dikembangkan dan berbagai teknik penyiksaan diciptakan. 

Menghadapi kenyataan seperti ini, ilmuwan abad 20 tidak boleh tinggal diam, si pemilik ilmu ini harus mempunyai sikap. Ilmuwan harus mampu menilai antara yang baik dan yang buruk, yang pada hakikatnya mengharuskan seorang ilmuwan mempunyai landasan moral yang kuat. Tanpa suatu landasan moral yang kuat seorang ilmuwan akan lebih merupakan seorang tokoh seperti Frankenstein yang tak mengindahkan moral dalam setiap percobaan ilmiahnya.

Perkembangan ilmu, sejak pertumbuhannya diawali dan dikaitkan dengan sebuah kebutuhan kondisi realitas saat itu. Pada saat terjadi peperangan atau ada keinginan manusia untuk memerangi orang lain, maka ilmu berkembang, sehingga penemuan ilmu bukan saja ditujukan untuk menguasai alam melainkan untuk tujuan perang, memerangi semua manusia dan untuk menguasai mereka. Di pihak lain, perkembangan dan kemajuan ilmu sering melupakan kedudukan atau faktor manusia. Penemuan ilmu semestinya untuk kepentingan manusia, jadi ilmu yang menyesuaikan dengan kedudukan manusia, namun keadaan justru sebaliknya yaitu manusialah yang akhirnya harus menyesuaikan diri dengan ilmu (Ihsan Fuad, 2010:273).

Jadi ilmu bukan saja menimbulkan gejala dehumanisasi namun bahkan kemungkinan mengubah hakikat kemanusiaan. Ilmu bukan lagi merupakan sarana yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya, namun bahkan kemungkinan mengubah hakikat kemanusiaan. Ilmu bukan lagi merupakan sarana yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya, namun juga menciptakan tujuan hidup itu sendiri. Masalah teknologi yang mengakibatkan proses dehumanisasi sebenarnya lebih merupakan masalah kebudayaan daripada masalah moral. Artinya, dihadapkan dengan ekses teknologi yang bersifat negatif, maka masyarakat harus menentukan teknologi mana saja yang akan dipergunakan dan teknologi mana yang tidak. Secara konseptual maka hal ini berarti bahwa suatu masyarakat harus menetapkan strategi pengembangan teknologinya agar sesuai dengan nilai-nilai budaya yang dijunjungnya (Suriasumantri Jujun S,2000:234).

Ilmu tidak lagi berfungsi sebagai sarana yang memberikan kemudahan dan berkah kepada kehidupan manusia, melainkan dia berada untuk tujuan eksistensinya sendiri. Sesuatu yang kadang-kadang ironis harus dibayar mahal oleh manusia karena kehilangan sebagian arti dari status kemanusiaannya. Manusia sering dihadapkan dengan situasi yang tidak bersifat manusiawi, terpenjara dalam kisi-kisi teknologi, yang merampas kemanusiaan dan kebahagiaannya (Jujun S. Suriasumantri,1999 dalam Ihsan Fuad,2010:273).

Dihadapkan dengan masalah moral dalam menghadapi ekses ilmu dan teknologi yang bersifat merusak ini para ilmuwan terbagi ke dalam dua golongan pendapat. Golongan pertama menginginkan bahwa ilmu harus bersifat netral terhadap nilai-nilai baik itu secara ontologis maupun aksiologis. Dalam hal ini tugas ilmuwan adalah menemukan pengetahuan dan terserah kepada orang lain untuk mempergunakannya. Golongan kedua berpendapat bahwa netralitas ilmu terhadap nilai-nilai hanyalah terbatas pada metafisik keilmuan, sedangkan dalam penggunaannya, bahkan pemilihan obyek penelitian, maka kegiatan keilmuan harus berlandaskan asas-asas moral. Tahap tertinggi dalam kebudayaan moral manusia, ujar Charles Darwin, adalah ketika kita menyadari bahwa kita seyogyanya mengontrol pikiran kita (Suriasumantri Jujun S,2000:235).

Jadi secara filsafat dapat dikatakan bahwa dalam tahap pengembangan konsep terdapat masalah moral yang ditinjau dari segi ontologi keilmuan, sedangkan dalam tahap penerapan konsep terdapat masalah moral ditinjau dari segi aksiologi keilmuan. Ontologi diartikan sebagai pengkajian mengenai hakikat realitas dari obyek yang ditelaah dalam membuahkan pengetahuan, aksiologi diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh. Setiap pengetahuan, termasuk pengetahuan ilmuah, mempunyai tiga dasar yakni ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Epistemologi membahas cara untuk mendapatkan pengetahuan, yang dalam kegiatan keilmuan disebut metode ilmiah.

Tanggung jawab para ilmuwan

Ilmu merupakan hasil karya perseorangan yang dikomunikasikan dan di kaji secara terbuka oleh masyarakat.Sekiranya hasil karya itu memenuhi syarat-syarat keilmuan maka bisa diterima sebagai bagian dari kumpulan ilmu pengetahuan dan digunakan oleh masyarkat tertentu.atau dengan perkataan lain. Penciptaan ilmu bersifat individual namun komunikasi dan penggunaan ilmu adalah bersifat sosial. Kreativitas individu yang didukung oleh sistem komunikasi sosial yang bersifat terbuka menjadi proses pengembangan ilmu yang berjalan secara efektif. Seorang ilmuwan mempunyai tanggung jawab sosial, bukan saja karena dia adalah warga masyarakat yang kepentingannya terlibat secara langsung di masyarakat namun yang lebih penting adalah karena dia mempunyai fungsi tertentu dalam kelangsungan hidup bermasyarakat. Fungsinya selaku ilmuwan tidak berhenti pada penelaahan dan keilmuan secara individual namun juga ikut bertanggung jawab agar produk keilmuan sampai dan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat (Suriasumantri Jujun S, 2000:237).

Jika dinyatakan bahwa ilmu bertanggung jawab atas perubahan sosial, maka hal itu berarti ilmu telah mengakibatkan perubahan sosial dan juga ilmu bertanggung jawab atas sesuatu yang bakal terjadi. Jadi tanggung jawab tersebut bersangkut paut dengan masa lampau dan juga masa depan (Ihsan Fuad,2010:281). Ilmuwan berdasarkan pengetahuannya memiliki kemampuan untuk meramalkan apa yang akan terjadi. Umpamanya saja apakah yang akan terjadi dengan ilmu dan teknologi kita di masa depan berdasarkan proses pendidikan keilmuan sekarang. Dengan kemampuan pengetahuannya seorang ilmuwan juga harus dapat mempengaruhi opini masyarakat terhadap masalah-masalah yang seyogyanya mereka sadari (Suriasumantri Jujun S,2000:241).

Tanggung jawab ilmu atas masa depan pertama-tama menyangkut usaha agar segala sesuatu yang terganggu oleh campur tangan ilmu bakal dipulihkan kembali. Campur tangan ilmu terhadap masa depan bersifat berat sebelah, karena sekaligus tertuju kepada keseimbangan dalam alam dan terhadap keteraturan sosial. Gangguan terhadap keseimbangan alam misalnya pembasmian kimiawi terhadap hama tanaman, sistem pengairan, dan sebagainya. Perlu diingat bahwa keberatsebelahan itu sebenarnya bukan hanya karena tanggung jawab ilmu saja, melainkan juga oleh manusia sendiri (Ihsan Fuad, 2010: 282).

Seorang ilmuwan pada hakikatnya adalah manusia yang biasa berpikir dengan teratur dan teliti. Bukan saja jalan pikirannya mengalir melalui pola-pola yang teratur namun juga segenap materi yang menjadi bahan pemikirannya dikaji dengan teliti. Seorang ilmuwan tidak menolak atau menerima sesuatu begitu saja tanpa suatu pemikiran yang cermat. Disinilah kelebihan seorang ilmuwan dibandingkan dengan cara berpikir seorang awam (Suriasumantri Jujun S, 2000 : 243). Untuk memahami ihwal tanggung jawab manusia , kiranya baik juga diketengahkan dengan singkat alam pikiran Yunani Kuno. Menurut alam pikiran Yunani Kuno, ilmu adalah theoria, sedangkan keteraturan alam dan keteraturan masyarakat selalu menurut kodrat Ilahi. Setiap keteraturan adalah keteraturan ilahi dan alam (karena mempunyai keteraturan) bahkan dianggap sebagai Ilahi atau sebagai hasil pengaturan Ilahi (Ihsan Fuad, 2010: 285).

Di bidang etika tanggung jawab sosial seorang ilmuwan bukan lagi memberikan informasi namun memberi contoh. Dia harus tampil di depan bagaimana caranya bersifat obyektif, terbuka, menerima kritik, menerima pendapat orang lain, kukuh dalam pendirian yang dianggapnya benar, dan kalau perlu berani mengakui kesalahan. Pengetahuan yang dimilikinya merupakan kekuatan yang akan memberinya keberanian. Demikian juga dalam masyarakat yang sedang membangun maka dia harus bersikap sebagai seorang pendidik dengan memberikan suri teladan (Suriasumantri Jujun S, 2000: 244).

Jadi bila kaum ilmuwan konsekuen dengan pandangan hidupnya, baik secara intelektual maupun secara moral , maka salah satu penyangga masyarakat modern akan berdiri dengan kukuh. Berdirinya pilar penyangga keilmuan itu merupakan tanggung jawab sosial seorang ilmuwan.

Tanggung jawab juga menyangkut penerapan nilai-nilai etis setepat-tepatnya bagi ilmu di dalam kegiatan praktis dan upaya penemuan sikap etis yang tepat, sesuai dengan ajaran tentang manusia dalam perkembangan ilmu.

Dapat disimpulkan Ilmu atau ilmu pengetahuan adalah seluruh usaha sadar untuk menyelidiki, menemukan, dan meningkatkan pemahaman manusia dari berbagai segi kenyataan dalam alam manusia. Moral adalah sistem nilai (sesuatu yang dijunjung tinggi) yang berupa ajaran (agama) dan paham (ideologi) sebagai pedoman untuk bersikap dan bertindak baik yang diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya. Jadi hubungan antara ilmu dan moral adalah sangat erat bahwa setiap usaha manusia untuk menyelidiki, menemukan, dan meningkatkan pemahaman dari berbagai segi harus berpedoman pada ajaran agama dan paham ideologi dalam bersikap dan bertindak. Tanggung jawab ilmuwan di masyarakat adalah suatu kewajiban seorang ilmuwan untuk mengetahui masalah sosial dan cara penyelesaian permasalahan sosial tersebut. Seorang ilmuwan mempunyai tanggung jawab sosial, bukan saja karena dia adalah warga masyarakat yang kepentingannya terlibat secara langsung di masyarakat namun yang lebih penting adalah karena dia mempunyai fungsi tertentu dalam kelangsungan hidup bermasyarakat. Fungsinya selaku ilmuwan tidak berhenti pada penelaahan dan keilmuan secara individual namun juga ikut bertanggung jawab agar produk keilmuan sampai dan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun