Jika memang FDS dirasa memberikan dampak positif bagi keceradasan anak seperti termaktub dalam konstitusi bahwa tujuan pendidikan adalah upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Maka, dengan senang hati masyarakat akan mendukung secara penuh. Namun, jika melihat fakta yang ada saat ini, sepertinya belum ada upaya serius pemerintah untuk menjalankan konsep FDS ini baik dilihat dari fisik maupun mental.
Anak Desa Sudah Berkarakter
Pendidikan tidak boleh buta dari memperhatikan pentingnya relasi anak dengan lingkungan sekitar, maka alasan implementasi FDS jangan bias dan terkesan ambigu. Apakah full-day school diterapkan hanya di lingkungan perkotaan? seperti Jakarta dan sekitarny, Atau apakah seluruh Nasional? Memang bahwa FDS ini sudah diterapakan dibanyak negara maju seperti Amerika dan jepang, hasilnya pun memberikan dampak positif bagi perkembangan karakter anak.Â
Sejarah FDS berawal di Amerika sekitar tahun 1980-an, alasanya yakni karena orang tua tidak punya cukup waktu untuk mengawasi anak-anak mereka sepulang sekolah. Konsep ini muncul karena ada keresahan aktivitas perkotaan. Karena orang tua siswa sibuk bekerja maka anak-anak mereka diberikan jam lebih panjang untuk belajar di sekolah. Namun, itu di Amerika, bagaimana dengan Indonesia? tentu mudah sekali menjawabnya, bahwa Indonesia adalah negara berkembang dimana setiap wilayah di Indonesia terdiri dari pedesaan. Tentunya tidak bisa digeneraliasi keberhasilan sebuah sistem yang sama akan sama berhasilnya jika diterapkan di wilayah yang berbeda.Indonesia memiliki kemajemukan, setiap wilayah mempunyai kultur dan karakter penduduknya yang berbeda.Â
Boleh jadi sistem FDS berhasil di Amerika yang sebagian wilayahnya sudah menjadi kota metropolitan sehingga karakteristik penduduknya juga homogen. Namun, jika diterapkan di Indonesia maka akan berbenturan dengan segudang permasalahan kemajemukan tersebut; seperti social, budaya, demografi, tradisi yang  siap menghadang dan berimplikasi langsung terhadap penerapan konsep FDS ini. Karena sebagian besar wilayah di Indonesia adalah pedesaan. Maka timbul pertanyaan, apakah tepat jika FDS diterapkan di desa? Menurut hemat penulis jelas tidak tepat, dimana desa memiliki corak kehidupan tersendiri, beda dengan keidupan perkotaan.Â
Mungkin jika di perkotaan anak setelah pulang sekolah kebanyakan dari mereka menghabiskan waktu cenderung ke arah negative. Seperti bergerombol di jalan (nongkrong) yang berujung pada tawuran pelajar, balap liar, sex bebas, atau bahkan narkoba. Namun, jika bicara tentang desa jelas tidak bisa disamakan. Desa memiliki kekhasan tersendiri, dimana anak-anak adalah bagian dari keluarga dan kehidupan bermasyarakat. Secara tidak langsung anak di desa mengejawantahkan nilai-nilai pendidikan dalam bermasyarakat dan berbakti kepada orang tua. Dari pengalaman penulis, anak di desa setelah pulang sekolah kemudian mereka membantu orang tua mencari pakan rumput untuk ternaknya, membantu ke sawah dan kebun untuk bercocok tanam untuk desa agraris.Â
Untuk desa nelayan beda lagi, anak-anak terbiasa membantu membawa hasil laut dan ikut memperbaiki jala ikan. Itulah sederet aktivitas anak desa mereka sudah memiliki karakter tersendiri dalam kaitanya dengan implementasi nilai pendidikan yang mereka peroleh. Dengan kata lain anak desa sudah mempunyai karakter tersendiri. Selanjutnya anak desa itu suka bermain sebagai wahana mereka melepas stress belajar (sekolah). Melalui permainan, anak dapat belajar dan berinteraksi dengan teman-teman tetangga rumah, hal ini sangat penting untuk anak agar mereka tidak memiliki sifat  anti-sosial seperti anak di perkotaan yang cenderung individualis karena imbas social media.Â
Tiap daerah mempunyai kekhasan masing-masing, tidak tepat saya kira jika FDS diterapkan di wilayah-wilyah yang memiliki karakterisistik seperti kehidupan di desa. Kemendikbud harus melakukan studi yang mendalam sebelum menggulirkan konsep ini. Jangan sampai penerapan konsep FDS memberikan dampak positif di satu sisi namun menimbulkan dampak negative di sisi lainnya.Â
Masyarakat tentunya berharap konsep yang digulirkan pemerintah adalah konsep yang tepat guna. kita memahami kebijakan ini digagas karena ada niat baik pemerintah untuk membenahi pendidikan di Indonesia. namun perlu diperhatikan, dalam penerapan sebuah sistem yang paling penting adalah cara-cara pelaksaaannya. Dan yang perlu diperhatikan adalah jangan mengorbankan anak apalagi dengan merenggut masa-masa bermain anak. Karena di pundak merekalah harapan kebangkitan bangsa disematkan dan melalui mereka kita dapat mengubah wajah baru bangsa Indonesia ke depan. Terlebih dalam menyongsong dan bersaing di kancah global. []
-Abidin Khusaeni
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H