Genggam tanganku dimasa depan, tatap tataplah jemariÂ
Kita lihat dunia dari dua mata, bijak bijaklah intuisi
Kulit dingin menghentak di sanubari, indah indahlah wahai purnama
Jika saja masa lalu, tidaklah mungkin kita duduk ditepian
Sudikah kau menatapku dari dekat, melihat dalam dalam kedalam lubukku bicara
Jalanan itu, pernah menjadi saksi kefanaan
Kita yang dikafani nyanyian para pendosa, di singkirkan perlahan dibalik danau itu, kita tenggelam
Jurang pemisah, telah melintasi dua bait lembah, kita hanya berbisik diantara safana
Tak mengertikah kita membaca , para sahabat bumi bersaksi
Apakah sajak kita mudah dipahami ? Kurasa hanya anjing gila yang mengangguk
Tak luka tetap sesak, nafas kematian segera tiba kala kencana menjemput di penghujung hidup
Biarkan saja, sembari menunggu mari kita bernyanyi, biarkan lonceng dan gema suara menjadi saksi
Sudikah , kita catat bersama, kita pernah hidup di dua sepertiga paradoks keabadian
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H