Ada hujan tiba tiba yang jatuh ditengah gurun, kita yang sedang berjalan , tak bisa lagi menghindar
Ada bintang yang tertinggal hingga siang, di lirik sinis oleh sang fajar, hingga tak mampu lagi berujar
Ada desir pantai , menghentak diantara rerimbunan bukit di balik safana, mengusir makna damai menjadi terkoyak nafas riuh hingar bingar
Ada mata mu , menatap diantara tembok tembok reruntuhan, terbakar dan menjadikannya abu ratapan
***
Mata yang ku tatap, mata mu yang penuh pilu diantara kemelutnya jelata
Mata mu yang menatapku, mata yang penuh harap, Â agar kita sama sama mengepal diantara desirnya ketimpangan
Kita yang menyatu di bui , diantara dinding dan sel yang diratap kemunafikan
***
Oh sayang, mari sini makan siang, dengan lauk pauk yang sudah layaknya makanan binatang
Tak apalah , mari kita nikmati sebelum para begundal datang mencabik cabik keromantisan
Damai kita saling menggenggam, di antara jeruji yang sudah mengekang
Kita yang menjadi narapi kehidupan yang sudi ditenggelamkan dalam sunyi
***
Sayang , raga kita diantara rerumputan ilalang yang mengumpat ngumpat malu seolah ketakutan
Di goyang goyang angin, Â tak jua iya memberi kabar harapan
Tawa para begundal di singgasananya semakin membuat kita beradu kemesraan dalam kelaparan
Juga Tangisan pilu menyobek nyobek ulu hati, membuat kita yang semakin beradu, bercumbu di rerimbunan yang menteskan air mata luka kebiadaban
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H