Aku tulis puisi lewat jentik jemari, tak ubahnya riwayat para dermawan pemberi nasi
Aku katakan ketidakadilan lewat narasi, tak ubahnya riwayat kemerdekaan negeri ironi
Aku dan sajak sajaku pergi kian kemari, mencari cari siapa tuan rela berkabari
Aku dan riwayatmu para penipu, di salahkan nya naluri sudah tak lagi menggerutu
***
Malam ini dengan sebatang lisongku, aku katakan bahwa dunia sudah tak lagi berwajah manusia
aku katakan bahwa waktu akan menjadi senjata membabi buta untuk dusta
aku ikrarkan bahwa janji harus menjadi penolak tiraniÂ
***
Aku dan dengan kamar sunyi ini, kasur kasur yang sudah lapuk dimakan usia
Dinding dinding yang sudah tak indah dipandang menandakan luka
Dimana dia ( Keberpihakan itu ) !
Tak usah lagi kau rayu rayu aku untuk diam ; aku lebih baik menetes darah timbang aku harus menjadi manusia lemah
ohhh nasehat , tak usahlah datang ketika ku sudah terkapar !
Aku bukan lagi nyanyian bisu tanpa makna, aku katakan , aku ini senjata untuk nurani yang sudah mati !
Aku katakan pedangku adalah kata kata yang terus di hunuskan !
Aku dan irisan irisan kabar luka dari kawan kawan yang rela berkorban dan rela tak mendapat jatah makanÂ
***
Sudah jangan menangis kawan, ratapan kita sudah takan didengar
mereka sudah tuli , mereka sudah buta dan nurani yang mati !
Mari sini kawan kita bernyanyi, ambilah gitar tua itu, biarkan kita larut bersama malam yang tak bertuanÂ
bersama harapan yang sudinya sudah tak beriman , bersama cacian yang sudinya sudah menjadi kebiasaan , bersama matahati yang sudah tegar di terpa topanÂ
Mari sini kawan , kita bernyanyi
Aku dongengkan kisah masalalu negeri ini !
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H