Mohon tunggu...
Abid FathurrahmanArif
Abid FathurrahmanArif Mohon Tunggu... Guru - Terus belajar untuk menjadi lebih baik

Lahir di Jakarta, 4 September 1998 di Jakarta. Alumnus Prodi Arab Universitas Indonesia , dan sekarang sedang menempuh kuliah pascasarjana di Kajian Timur Tengah dan Islam Universitas Indonesia. Aktivitas selain kuliah adalah mengajar dan menjadi Kepala Pesantren/ Mudir Kosan Yayasan Belajar Islam dan Bahasa Arab (BISA) Kukusan, Beji, Depok.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Tinjauan Hukum Taklifi pada Akad Asuransi

6 Januari 2022   17:15 Diperbarui: 6 Januari 2022   17:32 477
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh : Abid Fathurrrahman Arif 

(Mahasiswa Pascasarjana Sekolah Kajian Stratejik dan Global Program Studi Kajian Timur Tengah dan Islam Universitas Indonesia)

Asuransi ditinjau dari etimologinya adalah insurance/assurance, takaful/ta’min yang berarti jaminan. Secara terminologi, Asuransi dalam konteks perundang-undangan di Indonesia yang dikutip dari Pasal 246 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) adalah suatu perjanjian dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung dengan suatu premi untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa tertentu. Asuransi menjadi alternatif dalam transaksi ekonomi di kehidupan masyarakat dalam menghadapi suatu permasalahan.

Dari aspek historis, Asuransi muncul pada abad pertengahan dalam bentuk asuransi kebakaran yang dibuat dalam mengatasi kebakaran rumah, toko dan bangunan masyarakat di Eropa Barat. Setiap masyarakat yang mengalami musibah kebakaran akan dibantu program asuransi yang menjamin keselamatannya dengan akad yang dibuat antara  pihak pemberi asuransi (pemerintah atau swasta) dan yang diberi asuransi. Kemudian, pada abad ke-13 dan 14, ketika maraknya kolonialisme dan imperialisme negara-negara Barat yang mengarungi lautan samudera menuju benua Asia-Afrika, pemerintah Inggris membuat kebijakan asuransi pengangkutan laut sebagai jaminan kerusakan yang dialami para pelaut yang membawa barang-barang berharga. Ketika memasuki abad ke-19, seorang politikus dan negarawan Prancis Napoleon Bonaparte mengembangkan produk asuransi kepada beberapa macam, seperti asuransi jiwa, asuransi perdagangan, asuransi kesehatan dan lainnya. Hal ini diterapkan di negara-negara jajahan Prancis yang kemudian diadopsi negara Belanda ke Indonesia sehingga dikodifikasi hukumnya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) dengan berbagai variannya dan ketentuanya.

Pada perkembangannya, asuransi terbagi menjadi dua sistem : konvensional dan syariah. Asuransi konvensional dianggap kontroversional karena metode yang digunakan menguntungkan salah satu pihak yaitu perusahaan, dan merugikan pihak lain yaitu pihak yang diberikan jaminan asuransi. Dalam tinjauan akadnya, asuransi konvensional memakai akad tabadduli yang menjadikan adanya pertukaran dan pergantian resiko antara perusahaan dan penerima asuransi (transfer risk) dalam bentuk pembayaran (premi) peserta kepada perusahaan. Akad ta’min/dhaman adalah akad primer dalam asuransi ini, yang dimana adanya jaminan antara pihak penanggung (perusahaan) dan yang ditanggung (penerima asuransi). Jaminan tersebut didaaptkan dari pembayaran premi peserta kepada perusahaan sebagai penanggung (insurer).

Asuransi syariah sebenarnya dapat ditinjau dari aspek historis, bahwasannya secara praktek telah ditemukan pada kisah sayembara piala Nabi Yusuf alaihissalam, ketika beliau membuat siasat agar adiknya Benyamin tidak kembali bersama rombongan saudaranya ke ayahnya, Nabi Ya’qub alaihissalam dengan menyembunyikan piala tersebut di dalam kantong adiknya. Tetapi, pada kenyataanya beliau seakan tidak mengetahui hal tersebut dan membuat sayembara jaminan hadiah unta bagi yang dapat menemukan piala tersebut (QS. 12 :72). Begitupula Kisah Abu Qatadah radhiyallahu anhu, seorang sahabat Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam yang turut menjamin hutang seorang mayat sebelum disalatkan jenazah di Masjid Nabawi (HR. Bukhari, Ahmad & An-Nasa’i). Di era modern, jaminan ini dibuat teori dan prakteknya yang bernama asuransi dengan istilah islamnya adalah “takaful”. Sejak 1994, Pemerintah Indonesia telah mengizinkan pendirian PT. Syarikat Takaful Indonesia sebagai basis asuransi syariah dengan dukungan Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI). Akad yang digunakan adalah ta’awun/takaful yang saling menolong dan menanggung resiko antara perusahaan dan penerima asuransi (sharing risk) dalam bentuk hak peserta mendapatkan jaminan dari peserta lain atau bagi hasil antara peserta dan perusahaan. Akad tabarru’ sebagai pelengkap yang memberikan kompensasi bantuan bagi peserta yang masa jatuh temponya habis.

Jiikalau dtinjau dari perspektif hukum islam, pada pembahasan ilmu ushul fiqh akan didapati beberapa kriteria hukum sebagai tolak ukur kebolehan, ketidakbolehan, berpahala atau berdosa jika melakukan suatu tindakan (hukum taklifi). Menurut para pakar fikih muamalah, setidaknya hukum asuransi terbagi menjadi dua bagian yang kontradiktif : Mubah  dan Haram. Hal ini karena adanya perbedaan pandangan para pakar tersebut dalam menilai sebab-akibat, perspektif akad yang digunakan dan kemaslahatan yang terdaapat pada praktek asuransi (baik konvensional maupun syariah).

Para pakar yang mengatakan bahwa asuransi hukumnya Mubah adalah Syekh Dr. Ahmad Zaruq, Syekh Dr. Abdul Wahab Al-Khalaf, dan Syekh Muhammad Abu Zahrah. Ahmad Zaruq berpendapat bahwa asal hukum muamalah adalah mubah, dengan asas perkembangan akad-akad muamalah klasik dan kontemporer yang berkesesuaian. Abdul Wahab Al-Khalaf menambahkan bahwa akad yang digunkan dalam asuransi adalah mudharabah (bagi hasil), sebagaimana yang didapati pada transaksi bank. Abu Zahrah merinci bahwa asuransi yang mubah jika bersifat sosial karena kebermanfaatannya akan jelas dan masing-masing tidak ada yang merasa dirugikan dan meminimalisasi praktek gharar dan riba.

Para pakar yang mengatakan haram lebih menunjuk pada asuransi konvensional, diantaranya Syekh Dr.Yusuf Al-Qaradhawi, Syekh Dr. Wahbah az-Zuhaili, dan Syekh Taqiyuddin an-Nabhani. Yusuf Al-Qaradhawi menyatakan bahwa asuransi konvensional berpotensi kepada investasi riba, karena regulasi keuangan yang diatur perusahaan kepada penerima asuransi. Wahbah Az-Zuhaili menambahkan bahwa asuransi konvensional mengandung unsur perjudian (maysir), riba dan gharar. Sedangkan Taqiyuddin An-Nabhani menegaskan bahwa asuransi konvensional tidak dipenuhi akad-akad syariat yang sah walau pada prakteknya ada kemiripan seperti dhaman.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga telah merilis fatwa terkait asuransi syariah yang didasari perspektif dalil-dalil syariat bagi umat islam dalam memakai jasa asuransi berdasarkan Fatwa No : 21/DSN-MUI/X/2001 tentang pedoman asuransi syariah sebagai berikut :

  • Asuransi Syariah (Ta’min, Takaful atau Tadhamun) adalah usaha saling melindungi dan tolong-menolong di antara sejumlah orang/pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan / atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi resiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah.
  • Akad yang sesuai syariat adalah yang tidak mengandung gharar (penipuan), maysir (perjudian), riba, zhulm (penganiayaan), risywah (suap), barang haram dan maksiat.
  • Akad tijarah adalah semua bentuk akad yang dilakukan untuk tujuan komersial.
  • Akad tabarru’ adalah semua bentuk akad yang dilakukan dengan tujuan kebajikan dan tolong-menolong, bukan semata untuk tujuan komersial.
  • Premi adalah kewajiban peserta asuransi untuk memberikan sejumlah dana kepada perusahaan asuransi sesuai dengan kesepakatan dalam akad
  • Klaim adalah hak peserta Asuransi yang wajib diberikan oleh perusahaan asuransi sesuai dengan kesepakatan dalam akad.

Referensi :

Abdurrahman, Hafidz & Yahya Abdurrahman, 2015. Bisnis & Muamalah Kontemporer. Bogor : Al Azhar Freshzone Publishing.

Abdurrauf, 2010. Asuransi Dalam Pandangan Ulama Fikih Kontemporer. UIN Jakarta : Al Iqtishad Vol.II, No.2, Juli 2010.

Esa Business School, 2020. Islamic Finance Qualification. London : Chartered Institute For Securities & Investment.

Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No: 21/DSN-MUI/X/2001. Pedoman Umum Asuransi Syariah. https://dsnmui.or.id/

Hasan, M. Ali, 2004. Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam (Fiqh Muamalat). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Rivai, Veithzal & Andria Permata Veithzal, 2008. Islamic Finance Management. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun