Tidak hanya mengalami luka fisik, korban pelecehan seksual juga mengalami depresi, mental down dan trauma mendalam. Belum lagi juga akan mendapat kecaman social dari berbagai pihak. Seakan apa yang telah dilakukannya merupakan sebuah "kesalahan besar" yang terus menerus melekat pada diri korban sampai kapanpun. Selain itu, juga dapat membunuh karakter, hancurnya nama baik dan kehilangan rasa kepercayaan pada diri sendiri bahkan bisa mengakibatkan kehilangan diri sendiri.
Oleh karena itu, paradigma masyarakat terhadap korban pelecehan harus kembali diluruskan. Bahwa pada kenyataannya, korban ialah seseorang yang membutuhkan perlindungan dan kepercayaan untuk mengatasi traumanya. Karena pada dasarnya, kebijakan dan undang-undang tidak serta merta dapat menyelesaikan permasalahan mengenai pelecehan seksual terhadap korban. Dukungan penuh dari keluarga dan lingkungan juga sangat diperlukan. Memulihkan trauma pada diri korban tidak semudah seperti membalik telapak tangan. Selain itu, orangtua juga harus mengontrol anak sejak dini, mulai dari lingkungan bergaulnya, cara berpakaian maupun pengggunaan media social. Orangtua juga memberikan pengertian mengenai sex-education sejak dini, mana batasan yang boleh disentuh dan mana batasan yang tidak boleh disentuh orang lain. Disini, pengawasan orangtua menjadi hal utama demi menghindari suatu hal yang tidak diinginkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H