Menurut Yamin, Ilham dkk, Pemilu merupakan sebuah konsep dari demokrasi prosedural dan juga merupakan salah satu cara terkuat pada rakyat agar melaksanakan demokrasi kontemporer. Indonesia sebagai Negara demokrasi, seyogyanya melakukan pemilihan pemimpin secara periodik dan berkesinambungan, yang mana pemilihan Kepala Daerah dilaksanakan 5 tahun sekali. Dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 mengenai Pemda (Pilkada) dalam Pasal 24 ayat (5) Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih secara langsung oleh rakyat dalam satu pasangan pada daerah yang bersangkutan. Pilkada langsung sudah dilaksanakan semenjak tahun 2005 sesuai dengan UU No. 32 Tahun 2004 dengan berlandaskan pada Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang menetapkan bahwasanya Gubernur, Bupati, dan Walikota dipilih melalui sistem demokratis.
Pemilu Paralel 2024 adalah sebuah proses pemilihan yang menggabungkan tahapan pemilu serentak model "borongan" atau lima kotak dengan Pemilukada Serentak di sejumlah provinsi dan/atau kabupaten kota. Tahapan yang berhimpit bisa menyebabkan beban kerja penyelenggara dan kelelahan prosedural dalam pemilu yang bisa berdampak pada meningkatnya kasus-kasus laporan pelanggaran etik oleh penyelenggara pada Pemilu Paralel 2024 mendatang.Â
Terdapat pro dan kontra di Komisi II DPR dalam rencana revisi Undang-Undang Pemilihan Umum (Pemilu) Nomor 7 Tahun 2017. Revisi tersebut mengatur tentang normalisasi Pilkada pada 2022 dan 2023. Namun, mengacu pada Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang pemilihan kepala daerah (Pilkada), dalam UU tersebut pemilihan kepala daerah dilaksanakan berbarengan dengan Pemilu nasional yaitu pada tahun 2024.
Salah satu masalah yang disoroti dari revisi undang-undang ini adalah beban berat bagi penyelenggara pemilu yang harus menyelenggarakan pemilihan dengan tujuh jenis pemilu pada tahun yang sama (2024), yakni pemilihan presiden, pemilu anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kab/Kota, Pemilihan Gubernur, dan Pemilihan Walikota/Bupati. Apabila pemilu besar dijadikan satu dalam kurun waktu 9 bulan di tahun yang sama, maka akan mempersulit penyelenggara pemilu dan berpotensi membuat penyelenggara pemilu menjadi tidak dapat melakukan pekerjaannya dengan maksimal dan tentunya akan berdampak kepada kualitas yang ada bagi penyelenggaraan pemilu.
Beban kerja yang bertambah dan waktu istirahat yang singkat seperti pada pilkada serentak 2019 masih menjadi kekhawatiran petugas KPPS. Hal ini sejalan dengan tanggapan dari salah satu petugas KPPS pilkada serentak 2019. Umi (28), yang pernah menjadi anggota kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS) di Bekasi, bercerita pengalamannya saat perhelatan Pemilu dan Pilkada pada 2019 sangat melelahkan. Waktu untuk beristirahat pun, menurut Umi sangat singkat.
"Untuk beban tugas sebenarnya tidak berat karena dikerjakan bersama-sama, cuma menjadi berat karena istirahat terbatas, peserta banyak dan memang tidak bisa istirahat lama-lama," kata Umi, Senin (1/2).
Himpitan target waktu, jumlah peserta yang banyak, kertas-kertas suara, juga dianggap Umi menjadi faktor tugas KPPS saat pemilu serentak 2019, banyak yang tumbang kelelahan. Umi mengaku sangat kelelahan bertugas sejak pukul 7 pagi sampai 12 malam, dengan waktu istirahat yang sangat hemat.
"Kondisi saya masih lebih baik, ada petugas KPPS bagian distribusi kotak suara baru selesai jam 2 dini hari," cerita dia.
Jika dapat memilih, ibu dari calon dua anak ini berharap agar Pilkada tidak dilakukan pada 2024, melainkan 2022.
Harapan Umi juga diaminkan Ali (28) yang menjadi petugas KPU wilayah Jakarta Utara. Kendati tahun tersebut DKI Jakarta tidak melaksanakan pemilihan gubernur, target waktu menyebabkan tugas sangat berat. Ia pun memilih agar Pilkada dilakukan pada 2022 dibanding 2024.