Kampung adat Cireundeu merupakan kampung adat yang terletak di kelurahan Leuwigajah, kecamatan Cimahi Selatan dan sudah berusia ratusan tahun. Kampung adat Cireundeu mulai muncul pada abad ke-17 M.Â
Kata "Cireundeu" sendiri berasal dari dua kata, yaitu kata "Ci" yang artinya air dan kata "Reundeu" yang merujuk pada tumbuhan Reundeu. Penamaan kata Cireundeu merujuk pada tumbuhan Reundeu tersebut, dikarenakan dahulu di kampung tersebut menjadi habitat khusus tanaman Reundeu yang menjadi tanaman atau obat herbal masyarakat kampung sekitar.
Kampung adat Cireundeu diperkirakan terdapat 1000 jiwa. Sebagian besar mereka bertani singkong yang merupakan mata pencaharian utama masyarakat setempat. Secara keseluruhan luas lahan kampung adat Cireundeu ini adalah 90 hektar yang dibagi ke dalam 2 fungsi lahan, yaitu lahan pemukiman 7 hektar dan hutan sekitar 70 -- 80 hektar. Kemudian hutan tersebut dibagi lagi ke dalam 3 fungsi hutan.Â
Pertama hutan larangan merupakan hutan terlarang kampung tersebut dimana masyarakat dilarang untuk menebang pohon yang bertujuan untuk sebagai penyedia air bagi masyaratak kampung adat Cireundeu khususnya.Â
Kedua hutan tutupan (hutan konservatif) merupakan hutan yang bias ditebang pohonnya untuk keperluan masyarakat sekitar, akan tetapi harus dilakukan reboisasi kembali.
Ketiga Hutan Baladahan (hutan pertanian) merupakan hutan yang digunakan sebagai lahan pertanian oleh masyarakat setempat yang biasanya ditanami jagung, singkong, dan umbi-umbian.
Masyarakat kampung adat Cireundeu sangat menjunjung tinggi kepercayaan serta kebudayaan leluhur mereka. Mereka masih menganut kepercayaan kuno para leluhur mereka, yaitu kepercayaan Sunda Wiwitan.Â
Mereka sangat menghargai aturan atau norma kampung setempat. Selain itu kebudayaan kuno mereka masih sangat lestarikan. Mulai cara berpakaian, cara ibadah, kesenian dan musik, sampai dengan pantangan-pantangan (pamali) yang telah diyakini sejak dahulu.
Masyarakat kampung adat Cireundeu mengonsumsi nasi singkong yang berasal dari rasi atau beras singkong. Nasi singkong menjadi makanan pokok masyarakat setempat sejak tahun 1918 M, dimana pada saat itu masyarakat setempat mengalami kelaparan dan krisis padi akibat dari penjajahan Belanda.Â