Mohon tunggu...
Abhotneo Naibaho
Abhotneo Naibaho Mohon Tunggu... wiraswasta -

Saya seorang pembelajar dari asal Pematangsiantar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Topeng-topeng Kemunafikan Merajalela

13 Mei 2016   00:22 Diperbarui: 30 Agustus 2017   09:19 212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Oleh: Abhotneo

Aku mengira, kesadaran itu datang dari lubuk hatinya yang paling dalam setelah proses perenungan panjang bahwa yang telah ia perbuat selama ini adalah salah, bahkan mengganggu kenyamanan banyak pihak. Ternyata tidak!!

Perubahan itu hanya sesaat dan bahkan sebaliknya. Dugaanku meleset bak kain keset yang dibubuhi tepung kanji. Hanya oleh karena........, hanya oleh karena......... (topeng-topeng berjubahkan kerohanian marak (bahkan merajalela).

Absensi topeng kerohanian senantiasa berjalan di tiap-tiap waktu yang telah terjadwal. Namun soal gossip, mencibir orang lain pun tiada pernah berhenti dari mulutnya yang bau membusuk. Merasa sudah mengetahui banyak hal, namun sebatas kata-kata di warung belaka. Soal action, lagi kritis? Huff..jangan diharap!

Carut-marut hunian notabene berlabelkan pendidikan, sebatas kamuflase dan status. Sementara tak jauh dari hunian tersebut, seorang bak peri berjas warna putih suci dengan jengkol lambang teritorialnya, bermain di balik layar yang hitam.

Transaksional merajalela. Kultur dibawa-bawa. Hendak ke mana kaum-kaum berpendidikan itu akan dibawa..?? Belum lagi lagu-lagu nan merdu dengan lirik yang menyentuh, namun tak mampu melakukan dalam kehidupan nyata.

Aku tertegun…, tanpa perlawanan (bukan karena tak bisa melawan). Merasa bodoh ketika aku harus terusik dengan mulut-mulut usil itu. Hanya diperlukan permakluman dikarenakan mereka tak pernah beranjak dari habitat nyamannya.

Malam berganti menjadi pagi yang dingin mulai menusuk tulang sumsum. Ayam jantan sedang asyik bermimpi pujaan hatinya si ayam betina. Tak lama lagi kokoknya yang merdu akan berkumandang. Goretan pena ini hampir tiba di garis akhir sambil menyaksikan keheningan para pemilik topeng kemunafikan.

Tak mengapa, jika itu harus diijinkan terjadi. Ratu adil senantiasa berbisik, “bahwa bukan topengmu yang akan kulihat, melainkan lakumu akan menjadi pertanggungjawaban di garis akhir.”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun