Mohon tunggu...
Agus Barkah Hamdani
Agus Barkah Hamdani Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pengajar di salah satu perguruan tinggi agama di Kabupaten Garut

Penyuka Teknologi dan Informasi, penyuka tehnik, terjebak dalam ruang akademis rumpun Ekonomi Islam

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

KKN Mahasiswa kok di Diskotik?

18 Agustus 2024   12:30 Diperbarui: 18 Agustus 2024   13:54 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Baru-baru ini, banyak sekali beredar berita tentang pelaksanaan Kuliah Kerja Nyata (KKN). Baik dari universitas ternama, maupun Perguruan Tinggi yang agak ternama. KKN tematik, maupun KKN tidak tematik. Dulu, umumnya KKN dilakukan oleh mahasiswa semester gondrong. Setelah tuntas perkuliahan, matakuliah sudah habis, barulah masuk pada agenda KKN. Beberapa tahun ini, KKN dilaksanakan oleh mahasiswa pertengahan. Sekitaran semester 4.

Saya membayangkan, KKN itu adalah memontum bagi mahasiswa untuk membaur dengan lingkungan baru. Dulu, biasanya KKN berlokasi diperkampungan, pelosok, yang identik jauh dari perkotaan. Suasana asri, minim fasilitas, terkadang listrik saja masih pake turbin air. Memanfaatkan aliran sungai. Jangankan main tiktok, jejaring internet saja segan dengan kondisi lingkungan seperti itu.

Sekarang, lain cerita. Entah karena tempat-tempat terpencil sudah mulai susah dicari. Atau karena muncul paradigma baru dalam prosedur pelaksanaan KKN. Saat ini, KKN dilaksanakan di daerah-daerah agak kota. Orang Garut menyebutknya diskotik, di sisi kota saeutik. Lokasinya memang agak kampung, tapi akses dengan daerah kota mudah dan dekat. Bahkan, kehidupan masyarakatnya sudah terpapar dengan kultur agak kekota-kotaan. Tetiba ada anak-anak joget didepan smartphone lengkap dengan tripod; sudah sangat akrab dengan grabfood, walaupun untuk sekedar beli seblak ceker, atau karedok basreng. Ah, pokoknya nuansa kekotaannya sudah agak pekat lah.

Kembali ke tema KKN. Tadi disinggung bahwa fungsi KKN harapannya adalah sebagai ruang baru bagi mahasiswa, untuk belajar bermasyakat di lingkungan baru. Apa bisa? Coba kita perhatikan aktivitasnya. Jika betul mereka belajar bermasyarakat, berapa banyak dari mereka yang melaksanakan KKN, berbaur dengan lingkungan? Misal, silaturahim dengan masyarakat sekitar basecamp mereka. Jangan-jangan mereka tidak kenal dengan tetangga? Atau, dalam bermasyarakat dengan teman sekelompok. Apakah masing-masing mahasiswa belajar untuk rispek dengan yang lainnya? Merokok dimana saja, puntung rokok dibuang seenaknya, padahal ada orang lain yang mencoba menjaga kebersihan. Jika debu dan puntung rokok itu dijaga, disimpan dengan baik, lalu ketika sudah selesai dibuang pada tempat sampah, kan lebih terlihat rispek & berpendidikan. Masa harus ditulisi dulu "saparantosna ngaroko, mangga calacah sareng kuntungna di GAYEM!!!" (sehabis merokok, silahkan debu dan puntung rokoknya dimakan). Dilingkungan terkecil saja sudah tidak bermasyarakat, apalagi pada lingkungan yang lebih luas.

Jika memang KKN adalah wahana untuk belajar, bagaimana kampus memberikan pembelakan aktivitas KKN untuk mahasiswanya? Sebagai lembaga yang bertanggung jawab merancang aktivitas pembelajarannya, seperti apa prosedur KKN agar mahasiswa dapat betul-betul mendapatkan ilmu bermasyarakat? Jangan-jangan tidak dibekali dengan baik? Jangan-jangan tidak punya prosedur yang jelas, selain kampus mengantarkan mahasiswa ke lokasi KKN. Itupun seremonial dengan Kades, bahkan sebagian hanya dengan Camatnya saja?

Jika memang KKN adalah program substansial untuk mendukung proses pembelajaran mahasiswa, tentu kampus bertanggung jawab penuh untuk merancang kegiatan KKN agar betul-betul memberikan pengalaman belajar yang terukur, sistematis, dan berdampak. Jika tidak dirancang, bagaimana mungkin KKN bisa menjadi bagian dari kurikulum kampus? Biaya KKN tidak kecil lho. Mereka mengeluarkan iuran khusus untuk kegiatan KKN, disetorkan ke kampus. Ketika mulai turun ke masyarakat, mereka harus iuran lagi supaya bisa melaksanakan kegiatan. Bahkan, sekedar untuk tempat tinggal saja, mereka harus mengeluarkan uang kembali. Belum lagi, mereka harus makan, jajan seblak, jajan citul. Banyak sekali uang yang keluar. Terus aktivitasnya tidak dirangcang gitu?

Ada yang mau berbagi keresahan tentan KKN yang lagi rame ini? Atau cerita sukses ketika KKN (mendapatkan kembang desa)?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun