Mohon tunggu...
Ab Gani
Ab Gani Mohon Tunggu... -

Pemalas

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

[Resensi Buku] Bertualang Menuju Hakikat Pulang

19 Desember 2015   23:02 Diperbarui: 20 Desember 2015   08:02 370
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Judul                : Pulang

Penulis            : Tere Liye

Editor              : Triana Rahmawati

Penerbit          : Republika Penerbit, Jakarta

Tebal Buku     : iv + 400 halaman

Cetakan          : III, Oktober 2015

Pulang, adalah sebuah peristiwa yang menggetarkan bagi perantau setelah ribuan hari mengembara di tanah rantau dan merendam bergunung rindu pada keluarga dan suasana kampung halaman. Pulang, bisa jadi sebuah perjalanan spiritual menuju, seperti kata Midah, “…pulang kepada hakikat sejati yang ada dalam dirimu.” (hal. 24). Sebab dalam diri manusia ada satu titik di mana, menurut Psikolog Sufi, Robert Frager, dalam diri kita menyimpan percikan atau ruh ilahiah. Oleh sebab itu, pulang bisa juga bermakna berjalan menuju  sesuatu yang sakral, yaitu Tuhan, seperti apa yang ditegaskan Tuanku Imam kepada Bujang pada halaman 340, “Agam, kembalilah. Pulanglah kepada Tuhanmu…” Singkatnya, Pulang tidak pernah bermakna tunggal dan dalam novel ini Tere Liye dengan cerdik mengajak kita berpetualangan lewat plot-plot segar dan mengejutkan yang dibumbui bahasa renyah dan tegas untuk menemukan sendiri makna Pulang.

Ketika pertama kali melihat sampul novel Pulang, dalam benakku terbersit kesimpulan sederhana, yaitu pulang ke rumah atau ke kampung halaman. Bagaimana tidak. Dari sampul yang didesain unik: selembar kertas warna hijau sobek, dibalik sobekan itu bercokol sebuah pemandangan matahari tenggelam (atau terbit?) di ujung laut. Matahari inilah dalam imajinasiku seolah-olah menujukkan letak kampung halamanku.

Di bab Si Babi Hutan, imajinasi itu sempat hilang karena pada bab ini bukannya kita dihidangkan sebuah cerita tentang seorang perantau, tetapi tentang perburuan hama babi hutan yang berlatar di gelap-lembap rimba Lereng Bukit Barisan pedalaman Sumatra oleh rombongan dari kota yang dipimpin Teuke Muda melibatkan Bujang, anak Samad, dan beberapa pemuda talang. Babi-babi hutan itu diburu karena menjadi momok menakutkan yang selalu merusak tanaman para petani kampung talang. Di tengah gelap rimba Bukit Barisan inilah, melalui berburu babi hutan, darah remaja dan jiwa tukang pukul Samad yang mengalir dalam urat-urat Bujang sebenarnya sedang diuji oleh Samad dan Teuke Muda. Tidak dinyana-nyana, ternyata gen pemberani Samad terbukti dengan dikalahkannya induk semang babi hutan oleh Bujang seorang diri dengan tombak bapaknya. Dengan terbunuhnya raja babi hutan berukuran sebesar seekor sapi dewasa itu berarti juga nyawa Teuke Muda telah diselamatkan dari serudukan raja babi hutan beringas mematikan itu. Sejak saat itulah rasa takut dalam diri Bujang hilang sama sekali.

Di balik tujuan memusnahkan hama babi-babi hutan, perburuan itu ternyata terselip sebuah konspirasi terselubung antara Samad dan Teuke Besar, bapak Teuke Muda, yang sudah direncanakan jauh-jauh hari sebagai penebus hutangnya kepada Teuke Besar karena merasa tidak bisa menuntaskan tugas yang diamanatkan Teuke Besar kepadanya karena lumpuh kaki sebelahnya. Sebagai tebusannya, Bujang, anak satu-satunya dibawa ke kota, menjadi bagian dari Keluarga Tong yang sekarang dipimpin Teuke Muda sebagai Teuke Besarnya menggantikan bapaknya yang meninggal. Midah, istri Samad, yang tidak tahu tentang rencana itu harus mau meski hatinya menjerit dan tidak ikhlas melihat anak semata wayangnya jauh dari pelukannya. Hati ibu mana yang tidak menjerit melihat anaknya jauh dari kampung halaman, jauh dari pelukannya? Imajinasi bahwa novel ini adalah cerita tentang seorang perantau pun kembali hadir.

Hari itu Bujang meninggalkan kampung talang diiringi air mata mamaknya yang tentu tidak ikut bersamanya ke kota. Bujang tidak membawa apa-apa selain dua pesan mamaknya: tidak makan daging babi dan anjing, dan tidak minum tuak atau minuman yang diharamkan agama, yang dipeganggnya sampai cerita ini selesai. Kepergian Bujang menjadi alasan setiap malam Midah menangis karena merindukannya.

Kini Bujang hidup di kota, di tengah-tengah keluarga besar Tong, menjadi bagian keluarga itu demi menebus tugas bapaknya yang belum selesai. Di kota dia lebih dikenal dengan nama Si Babi Hutang berkat kejadian di gulita rimba mengalahkan dedengkot babi hutan itu. Di mata Bujang, Si Babi Hutan, kota dan Keluarga Tong adalah keluarga baru, dunia baru yang akan membawanya menuju petualangan hebat dan menegangkan.

Di Keluarga Tong Si Babi Hutan punya banyak kawan; berkenalan dengan Basyir, si jagal dari Arab dan menjadi sahabat pertamanya, ahli memainkan khanjar; berkenalan dengan Kopong, kepala tukang pukul; berkenalan dengan Mansyur, kepala keuangan dan logistik. Perkenalannya dengan orang-orang kuat dan berpengaruh dalam adu fisik di Keluarga Tong ini membangkitkan semangat Si Babi Hutan menjadi tukang pukul, namun tidak diizinkan Teuke Besar. Teuke Besar menginginkannya menjadi orang pintar, berpendidikan, menjadi ahli strategi seperti Parwez, agar bisnis shadow economy yang dijalankan tidak hanya mengandalkan taktik baku hantam fisik, tapi juga strategi intelektual. Hasil tes yang diberikan Frans, guru les Si Babi Hutan, mengimplikasikan otak Si Babi Hutan cocok menjadi seorang intelektual. Namun dia tetap keras kepala ingin menjadi tukang pukul. Si Babi Hutan pun mengultimatum Teuke Besar, jika keinginannya tidak dikabulkan akan berhenti belajar.

Apa kata Teuke Besar adalah perintah, jika tidak dilaksanakan berarti menerima pukulan sampai patuh. Namun tidak kepada Si Babi Hutan, Teuke Besar sedikit meredam ketegasannya, mengingat jasa Samad menyelamatkan bapaknya dari maut, mengingat jasa Si Babi Hutan sendiri di rimba Bukit Barisan.

Niat Bujang dikabulkan Teuke Besar pada upacara Amok, yaitu upaca untuk menyeleksi siapa yang pantas jadi tukang pukul. Tetapi Si Babi Hutan tidak mampu bertahan menghadapi puluhan tukang pukul selama dua puluh menit waktu yang ditentukan Teuke Besar. Dia gagal! Meskipun gagal, dia diam-diam meminta Kopong melatihnya menjadi tukang pukul. Malam hari adalah waktu yang tepat latihan karena tidak mengganggu jadwal belajarnya. Setiap malam dia dilatih Kopong menjadi tukang pukul di pantai. Dia juga belajar pedang—samurai—dan shuriken pada guru Bushi.

Berkat latihan rutin bersama Kopong dan guru Bushi, pada suatu hari, saat Keluarga Arab menyerang markas besar Keluarga Tong, Bujang membuktikan kemampuannya menjadi tukang pukul. Dia mampu melumpuhkan delapan Keluarga Arab seorang diri. Lagi-lagi nyawa Teuke Besar terselamatkan dari maut. Peristiwa itu membuka hati Teuke Besar lantas membiarkannya menjadi tukang pukul yang intelektual.

Karena izin itu semangat belajar Bujang bertumbuh tinggi sampai dia berhasil lulus di universita ternama di Massachusetts, Amerika, mengambil program studi Master Ekonomi dengan membawa pulang dua gelar. Bujang adalah lulusan terbaik dan tercepat di universitas tersebut. Bujang kini menjadi anak kesayangan Teuke Besar karena kecerdasa otak dan ototnya. Dia juga menjadi orang berpengaruh kedua di Keluarga Tong setelah Teuke Besar.

Dengan Plot maju-mundur, lembar demi lembar cerita yang dihidangkan Tere Liye dalam novel ini terasa lebih menyenangkan, membuat penasaran dan memberi efek mengejutkan karena pada bagian babnya kita dipaparkan dua latar waktu dan tempat yang berbeda namun singkron dengan peristiwa sebelumnya. Dengan begitu, cerita ini menggiring kita dengan hati-hati menuju petualangan tak terduga dan memukau, seru, apik, penuh strategi brilian, detail dan rapi, apalagi ditambah racikan dialog yang elegan dan tidak bertele-tele.

Salah satu peristiwa tak terduga itu kita temukan pada bab Tim Terbaik, di mana Si Babi Hutan menyiapkan tim untuk sebuah misi Penyerbuan Kasino (bab 9), misi mengambil kembali alat pemindai milik Keluarga Tong yang dicuri Keluarga Lin. Si Babi Hutan mempersiapkan tim terbaiknya seolah-olah dengan spontanitas dan tanpa perencanaan yang matang. Pertemuannya dengan dua gadis mengenakan pakaian seperti turis Jepang, Yuki dan Kiko, di atas feri tidak menunjukkan jika kedua gadis centil itu tim yang sudah dipersiapkan Bujang jauh sebelumnya untuk menyerbu Keluarga Lin di gedung kasino lantai 40 di Grand Lisabon, Makau. Dua gadis feminim itu nanti kita ketahui ternyata cucu guru Bushi yang sudah dipersiapkan Bujang saat berangkat menemui Master Dragon di Hong Kong.

Begitu juga pertemuannya dengan White, mantan marinir Amerika, di sebuah kedai makan miliknya. Lagi-lagi, dia direkrut Bujang untuk misi yang sama, selolah-olah tak disengaja dan tidak ada kaitannya sama sekali dengan Keluarga Tong. Ternyata White adalah anak Frans. Kesetiaannya pada Keluarga Tong bermula ketika nyawanya diselamatkan dari sandera di Baghdad oleh Keluarga Tong. White senang menembak dan tidak bisa menolak ajakan Si Babi Hutan. Tim terbaik pun sudah lengkap!

Ketakterdugaan peristiwa yang membuat kita terpukau tidak berhenti sampai di sini. Saat menyerbu gedung kasino, misalnya, adrenalin kita diacak-acak oleh Tere Liye dengan paparan adegan yang menegangkan dan misterius. Bujang yang tak pernah gentar harus menghadapi Keluarga Lin seorang diri tanpa senjata api colt kesayangan pemberian Slonga, guru tembaknya dari Filipina yang setia pada Keluarga Tong karena dia diselamatkan dari hukuman mati pemerinta Filipina, sebelum memasuki ruang utama tuan Lin yang dilapisi pintu kaca anti peluru yang tidak bisa dibuka keculi oleh tukang pukul Keluarga Lin yang berjaga di luar. Bujang akan mati jika terjadi apa-apa di dalam. Namun kecerdikan Bujang mampu menyelamatkannya dari maut. Dengan kartu identitasnya yang sengaja didesain pinggirnya dari logam, benda itu menjadi satu-satunya senjata yang dibawa masuk, benda itulah yang dilempar ke leher tuan Lin. Tuan Lin pun mati dalam posisi duduk lantas kematiannya diketahui tukang pukulnya ketika Bujang berhasil keluar dari ruangan itu.

Keributan terjadi setelah Bujang berhasil keluar. Baku tembak terjadi. Namun dengan keahlian menembak yang diajarkan Salonga, Bujang berhasil menembak tepat pada tombol pintu pengunci ruangan tempat para tukang pukul berjaga-jaga. Bujang terhindar dari keroyokan peluru tukang pukul Keluarga Lin.

Meskipun grand design strategi yang dirancang Bujang meleset, namun sumbangsih si kembar, Yuki dan Kiko, dan White, Bujang berhasil mengambil alat pemindai tersebut.

Ketegangan akan kita temukan di mana-mana sepanjang bab, bahkan sampai bab-bab terakhir ketika Basyir yang sangat terkenal setia kepada Teuke Besar ternyata berkhianat demi membalas dendam kematian ibu-bapaknya saat Keluarga Tong membumihanguskan kampung Arab. Dengan memanfaatkan dendam Keluarga Lin, Basyir bersama anak termuda Lin, mengatur strategi menguasai markas Besar Keluarga Tong yang kini tidak lagi di kota provinsi, tetapi pindah ke ibu kota seiring semakin besar wilayah kekuasaan Keluarga Tong dan semakin banyaknya tukang pukul yang direkrut.

Pada peristiwa ini, kita kembali dihadapkan pada kejeniusan Tere Liye dan menjebloskan kita pada penjara peristiwa yang jelimet nan memukau. Keseruan pertempuran di markas besar Keluarga Tong ini tidak kalah menegangkan dan menarik seperti saat Bujang menyerang markas Keluarga Lin di gedung kasino, pasalnya, Basyir yang berguru tiga tahun di Arab kini lebih kuat dan lincah memainkan khanjar seperti penunggang kuda suku Bedouin—sulit dikalahkan Bujang. Markas beras Keluarga Tong pun berhasil dikuasai sementara Teuke Besar yang terbaring berbulan-bulan di atas ranjang karena sakit tidak bisa berbuat apa-apa.

Bujang bersama Joni, salah satu letnan Keluarga Tong yang setia, Parwez, dan Teuke Besar yang dikepung terpaksa menyerah melawan Basyir dan puluhan tukang pukul Keluarga Tong yang bergabung dengan Basyir dan Keluarga Lin. Namun mereka berhasil lolos dari maut lewat terowongan rahasia yang dirancang di bawah ranjang Teuke Besar. Terowongan itu berakhir di halaman rumah Tuanku Imam. Rumah dan terowongan darurat itu sengaja dirancang Kopong sebagai persiapan jika terjadi pemberontakan besar-besaran.

Mereka dibawa dan dirawat Tuanku Imam di pondok pesantrennya sampai Bujang dan Parwez pulih. Disanalah Teuke Besar dikubur jasadnya dengan nama samaran.

Semakin asyik dengan petualangan-petualangan, kita semakin dibuat penasaran siapa yang akan pulang? Bujang? Bahkan sebelum mamak dan bapaknya meninggal, seiring kesibukannya mengemban tugas Keluarga Tong, dia tidak ingin pulang. Walapun sekarang dia ingin pulang, dia kini tidak punya mamak dan bapak atau sanak saudara yang harus ditemui di kampung talang. Lantas dia pulang ke mana? Bujang tidak pernah pulang ke kampong talang di Bukit Barisan.

Di pondodok pesantren ini kita disajikan cerita lain tentang kisah cinta rumit mamak dan bapaknya Bujang yang dipaparkan oleh Tuanku Imam. Kisah cinta Samad dan Midah yang ditolak oleh bapaknya Tuanku Imam inilah menjadi cikal-bakal kisah Keluarga Tong dengan petualangannya dimulai. Penolakan lamaran Samad kepada Midah oleh Tuanku Imam karena perbedaan sejarah keturunan membuat sakit hati Samad. Samad pun memutuskan merantau dan melampiaskan kemuakannya pada Tuanku Imam dengan menjadi tukang pukul di Keluarga Tong selama bertahun-tahun sampai dia lumpuh kakinya sebelah dan memutuskan pulang ke kampung talang.

Cintanya Samad dan Midah bertahan dan tidak pernah luntur. Sekembalinya ke kampung, Samad belum menyerah menyerah dan mencoba kembali melamar Midah yang kini janda tanpa anak. Lamarannya diterima dengan syarat dia dan Midah tidak menetap di kampung Tuanku Imam. Saat prosesi pernikahan itu Samad diludahi oleh salah satu keluarga Midah. Dendamnya semakin membara. Inilah dasar yang membuat Samad marah dan memukuli Bujang ketika Midah dipergoki mengajari Bujang mengaji, solat, dan adzan.

Di antara percakapan yang terjadi antar Tuanku Imam dan Bujang di atas menara masjid saat matahari baru menyingsing itu Tere Liye ingin menyampaikan pesan bijak tentang hidup kepada pembaca bahwa “…hidup ini tidak pernah tentang mengalah siapa pun. Hidup ini hanya tentang kedamaian di hatimu. Saat kau mampu berdamai, maka saat itulah kau telah memenangkan seluruh pertempuran. Kau membenci suara adzan misalnya, benci sekali, mengingatkan pada masa lalu. Itu karena kau tidak pernah mau berdamai dengan kenangan tersebut. Adzan jelas adalah mekanisme Tuhan memanggil siapa pun agar pulang ke pangkuan Tuhan, bersujud. Adzan tidak dirancang untuk mengganggu, suara berisik itu bukan untuk menyakiti siapa pun. Itu justru suara panggilan dan harus kencang agar orang mendengarnya. Kau tidak pernah mau berdamai dengan hatimu, Nak, itulah yang membuatmu benci pada suara adzan, kau sendiri yang mendefinisikannya demikian.” (hal.340).

Nasihat-nasihat Tuanku Imam menyadarkan hatinya Agam. Membuka cakrawala baru yang telah lama tertutup tirai dalam dirinya. Latas dengan jiwa baru, kekutan baru, keberanian baru, Agam mengerahkan seluruh sisa orang-orang yang masih setia kepada Keluarga Tong. Yuki dan Kiko, White bersama pasukannya, Salonga bersama murid-muridnya yang ahli menembak, terlibat. Agam pun berhasil merebut kembali markas Keluarga Tong dari tangan pengkhianatan Basyir.

Pada akhirnya saya, barangkali juga Anda, pelan-pelan mengetahui apa itu Pulang yang dimaksud Tere Liye dalam novel ini melalui nasihat Tuanku Imam kepada Agam sebelum berangkat merebut kembali markas besar Keluarga Tong, “…kembalilah. Pulanglah kepada Tuhanmu…” Sebab, jika kita percaya kepada Tuhan, tidak ada tempat pulang yang paling hakiki, seperti kata Midah, selain “…pulang kepada hakikat sejati yang ada dalam diri...” di mana kita menyimpan percikan atau ruh ilahiah.[]

Desember 2015

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun