Mohon tunggu...
Abevi Claudia
Abevi Claudia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Gadjah Mada

Mahasiswa pariwisata yang suka bercerita

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Kuliah Lapangan Rasa Liburan: Bali dan Segala Ceritanya

2 Desember 2024   18:49 Diperbarui: 2 Desember 2024   21:51 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kuta Beach Skate Park (Sumber: Google Maps)

Mulai dari Kuas dan Tinta di Desa Wisata Batuan
Perjalanan kami dimulai dengan mengunjungi Desa Wisata Batuan. Begitu sampai, kami langsung disambut oleh suasana desa yang asri dan damai. Pandangan saya langsung tertuju ke tempat kumpul kami yang berupa pendopo khas Bali. "Oke, sekarang kita jadi seniman!" kata salah satu instruktur.

Kami duduk berjejer di bawah saung, kuas di tangan, tinta hitam pekat di depan mata. Instruktur kami, dengan gaya santai tapi teliti, mulai menjelaskan teknik dasar mewarnai khas Bali. Saya, yang merasa cukup jago mewarnai sejak SD, awalnya percaya diri. Tapi, ketika garis-garis kecil di pola batik mulai terlihat seperti ular meliuk-liuk, saya menyerah. “Ini bukan cuma soal warna, tapi harmoni,” katanya. Tiba-tiba, saya merasa jadi seniman amatir yang clueless tapi saya rasa ini akan sangat menyenangkan!

Setelah karya “masterpiece” saya selesai (atau lebih tepatnya, gagal total), kami lanjut ke Pura Batuan. Begitu melangkah masuk, suasana langsung berubah. Dari suasana santai di workshop melukis, kini kami dihadapkan pada aura yang lebih serius—sakral, tenang, dan penuh cerita. Pura Batuan bukan sekadar tempat ibadah; ia adalah pengingat akan sejarah panjang dan kepercayaan mendalam masyarakat Bali.  Di tengah keheningan, aroma dupa yang terbakar pelan-pelan memenuhi udara. Asap tipisnya melayang, menambah dimensi lain pada pengalaman kami. Ukiran-ukiran rumit pada tubuh pura ini cukup membuat kami penasaran apa makna dibalik gambar-gambar tersebut. Beberapa teman memotret dan berpose di area pura, tapi kebanyakan dari kami hanya berdiri menikmati suasana, terpaku pada harmoni yang diciptakan pura ini. 

Foto Tari Topeng (Sumber: Dokumentasi Pribadi)
Foto Tari Topeng (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Kemudian, sore itu, kejutan baru datang di pertunjukan tari topeng. Penarinya yang merupakan seorang laki-laki yang biasanya dipanggil dengan sebutan “Bli” itu menari dengan sangat mempesona, setiap gerakan terasa hidup. Tapi sorotan utama hari itu? Saya ditunjuk untuk ikut tampil dan naik ke atas panggung! Saya diminta “akting” naik motor. Bayangkan ini: saya maju ke tengah panggung, pura-pura naik ke atas jok motor, dan mengikuti pergerakan Bli itu seolah saya sedang naik ojek! Teman-teman saya tertawa keras menyaksikan itu, tapi penonton terlihat puas.

Setelah itu, kami diajari beberapa suara dasar dalam pertunjukan kecak. Ternyata, suara “cak-cak-cak” itu nggak cuma asal, ada irama yang harus diikuti. Gerakan dalam tari kecak memang cukup sederhana, namun gabungan dari suara-suara yang dikumandangkan membuatnya terasa sangat megah dan ramai. Sore itu, tubuh sangat lelah, tetapi hati ini sangat puas.

Pantai Kuta: Surga di Tengah Keramaian

Foto Pedagang di Pantai Kuta (Sumber: Dokumentasi Pribadi)
Foto Pedagang di Pantai Kuta (Sumber: Dokumentasi Pribadi)
Hari kedua di Bali, Pantai Kuta menjadi destinasi pertama kami. Dari jauh, terlihat pantai panjang dengan ombak yang menggulung-gulung. Kami diberi waktu bebas untuk eksplorasi, jadi saya langsung melepas sandal dan jalan-jalan di pasir.

Apa yang membuat Pantai Kuta berbeda? Energinya! Pantai ini seperti panggung besar di mana semua orang punya peran. Di satu sisi, pedagang kaki lima sibuk menawarkan es kelapa muda, jagung bakar, atau pernak-pernik khas Bali, sambil bercanda ramah dengan wisatawan. Di sisi lain, turis dari berbagai penjuru dunia tampak santai, ada yang duduk di bawah payung sambil membaca buku, ada yang asyik menikmati pijat pantai. Di garis ombak, anak-anak berlarian sambil tertawa riang, membangun istana pasir yang kadang kalah cepat runtuh dibanding deburan air.

Dan jangan lupakan suara khas Pantai Kuta: campuran antara musik akustik dari café tepi pantai, obrolan turis dalam berbagai bahasa, dan gelegar ombak yang terus menghantam pantai. Semua elemen ini menciptakan suasana hidup yang bikin Pantai Kuta terasa seperti pusat energi yang tak pernah habis, sebuah tempat di mana setiap orang menemukan ruangnya untuk menikmati kebebasan.

Di tengah hiruk-pikuk Pantai Kuta, ada satu tempat yang bikin saya berhenti melangkah—Kuta Beach Skate Park. Terletak nggak jauh dari bibir pantai, skate park ini seolah menjadi titik kumpul bagi mereka yang membawa energi lain ke suasana Kuta: semangat anak muda yang penuh aksi.

Kuta Beach Skate Park (Sumber: Google Maps)
Kuta Beach Skate Park (Sumber: Google Maps)

Saya berdiri di pinggir arena, menyaksikan beberapa skater lokal meluncur dengan percaya diri. Trik-trik seperti kickflip dan ollie mereka lakukan dengan mulus, seolah-olah gravitasi nggak berlaku di sini. Yang lebih menarik, skate park ini nggak cuma untuk mereka yang sudah jago. Ada anak-anak kecil yang baru belajar mengendalikan papan, dengan jatuh-bangun yang terus diiringi semangat dari teman-temannya.

Di sudut lain, ada kelompok turis yang cuma duduk menonton, menikmati pertunjukan dadakan ini sambil mengunyah es krim. Skate park ini, meskipun kecil, terasa seperti ruang universal—di mana siapa pun bisa menjadi bagian dari suasana, entah dengan memegang skateboard atau hanya jadi penonton yang kagum.

Bagi saya, Kuta Beach Skate Park adalah simbol lain dari Bali yang dinamis. Ini adalah bukti bahwa pulau ini bukan hanya tentang tradisi dan keindahan alam, tapi juga tempat bagi budaya urban untuk tumbuh dan berkembang, menyatu dengan pesona khas Bali.

Pantai Melasti: Cantiknya Bikin Lupa Waktu

Foto Pantai Melasti (Sumber: Dokumentasi Pribadi) 
Foto Pantai Melasti (Sumber: Dokumentasi Pribadi) 

Kalau Kuta penuh vibe urban, Pantai Melasti terasa seperti tempat pelarian. Dari awal perjalanan menuju Pantai Melasti, suasananya sudah terasa berbeda. Jalanan yang berkelok-kelok membelah tebing kapur tinggi di kiri dan kanan menciptakan rasa takjub yang sulit diabaikan. Tiap kelokan memberi sudut pandang baru, seolah mengajak kami untuk berhenti sejenak dan mengambil napas sambil menikmati keindahan alam yang murni.

Begitu tiba di pantai, pemandangan yang tersaji benar-benar memukau. Tebing-tebing kapur yang menjulang tinggi menjadi bingkai alami untuk air laut biru jernih yang berkilauan diterpa sinar matahari. Pasir putihnya begitu lembut, seperti undangan untuk melepas alas kaki dan merasakan kehangatan bumi. Tidak ada keramaian atau suara bising di sini—hanya deburan ombak yang menenangkan dan angin yang membawa aroma laut segar.

Pantai Melasti adalah tempat dimana waktu terasa lambat. Beberapa teman sibuk mengabadikan momen dengan gaya foto estetik di depan tebing atau di atas bebatuan karang. Sementara itu, saya memilih duduk di bawah bayangan tebing, menatap jauh ke cakrawala. Rasanya seperti melarikan diri dari dunia yang penuh hiruk-pikuk dan menemukan ketenangan dalam pelukan alam.

Garuda Wisnu Kencana: Ikon Megah Bali

Penampakan Patuh GWK (Sumber: Dokumentasi Pribadi)
Penampakan Patuh GWK (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Hari kedua kami di Bali diakhiri dengan kunjungan ke Garuda Wisnu Kencana (GWK). Begitu bus kami mendekati kompleks GWK, pemandangan yang luar biasa langsung mencuri perhatian. Dari kejauhan, patung Dewa Wisnu yang menunggangi Garuda menjulang tinggi di atas bukit, seperti penjaga yang mengawasi pulau. Ukurannya benar-benar mengagumkan—patung ini bukan hanya besar, tapi megah. Setiap detailnya, dari mahkota Dewa Wisnu hingga sayap Garuda yang terbentang lebar, mencerminkan seni yang mendalam sekaligus ketelitian luar biasa.

Saat kami berjalan mendekat, sensasi “kecil” mulai terasa. Berdiri di bawah patung setinggi lebih dari 120 meter ini, kami seperti semut di kaki raksasa. Pemandu menjelaskan bahwa patung ini melambangkan keseimbangan antara manusia, alam, dan budaya, pesan yang sangat relevan di tengah era modern ini.

Selain patungnya, kawasan GWK menawarkan banyak hal. Kami menyusuri jalanan yang dikelilingi dinding kapur putih menjulang. Panorama dari kawasan GWK juga tak kalah memukau. Dari ketinggian ini, kami bisa melihat pemandangan luas Bali: hamparan hijau pepohonan, pantai-pantai di kejauhan, dan langit yang seakan tiada batasnya. Tapi yang menjadi puncak kunjungan kami adalah pertunjukan Tari Kecak GWK, yang diadakan di amphitheater terbuka.

Saat kami duduk di hamparan rumput hijau yang luas, suasana mulai terasa magis. Langit sore perlahan berubah warna, dari orange ke ungu, menjadi latar alami untuk pertunjukan ini. Ketika beberapa penari pria memasuki arena, mereka membentuk lingkaran, duduk bersila, dan mulai melantunkan suara “cak-cak-cak” yang ritmis dan penuh energi. Getaran suara mereka terasa hingga ke dada, membangun intensitas yang membuat saya merinding.

Cerita Tari Kecak ini diambil dari parwa pertama kitab Mahabarata, mengisahkan perjuangan dalam pencarian Tirta Amerta hingga masa kelahiran Garuda. Penarinya bergerak dengan gerakan dramatis, diselingi dengan suara para pria yang melingkar di sekitar mereka. Puncaknya adalah adegan Garuda yang dengan gagah melawan musuhnya, dengan energi luar biasa, diiringi suara tepuk tangan dan irama ritmis penari yang semakin cepat..

Saat pertunjukan selesai, suasana terasa penuh decak kagum. Tepuk tangan bergemuruh, tapi saya masih terdiam, mencoba mencerna setiap momen yang baru saja terjadi. Langit Bali yang perlahan gelap menjadi penutup yang sempurna untuk hari itu, meninggalkan rasa kagum yang sulit dilupakan. Hari itu, kami menutup perjalanan dengan rasa kagum yang masih melekat,

Bali, Sampai Ketemu Lagi!
Perjalanan kuliah lapangan ini bukan cuma soal tempat dan destinasi, tetapi juga soal cerita. Setiap tempat yang kami kunjungi menyimpan pengalaman unik yang tak hanya membekas di ingatan, tapi juga memberi pelajaran berharga. Di Desa Wisata Batuan, misalnya, siapa sangka membatik dengan tinta di atas kertas bisa terasa begitu meditatif? Duduk bersama teman-teman, kuas di tangan, kami diajari bagaimana seni tradisional Bali dibuat dengan penuh kesabaran. Momen itu mengajarkan bahwa seni bukan sekadar hasil akhir, tapi juga proses yang penuh makna. 

Lalu, ada “akting dadakan” saya di panggung tari topeng, dan belajar tari kecak setelahnya, menambah serunya pengalaman. Meskipun gerakannya terlihat simpel, ternyata butuh fokus dan koordinasi yang solid. Rasanya seperti jadi bagian dari tradisi yang telah berusia ratusan tahun.Dan siapa yang bisa melupakan momen-momen santai di Pantai Kuta? Dari jalan-jalan di pinggir pantai, mencicipi jajanan lokal, sampai menikmati suasana di skate park, semuanya terasa seperti pelarian singkat dari rutinitas.

Bali adalah tempat di mana tradisi dan modernitas hidup berdampingan, dan sebagai mahasiswa pariwisata, perjalanan ini membuat saya lebih paham tentang arti dari sebuah destinasi. Saya pulang dengan kepala penuh cerita dan hati yang penuh rasa syukur. Terima kasih, Bali, untuk seluruh pengalamannya. Sampai ketemu lagi di lain waktu!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun