Simbah kalian, Mbah Muh Sahri, yang biasa kalian panggil Mbahko, awal bulan depan berulang tahun. Lahir tahun 1927, saat ini Mbahko masih sehat, tiap hari mengimami shalat di mushola, mencangkul-cangkul kebun di pagi dan sore hari. Kadang Mbahko pergi ke pasar Gunungpati membeli bibit pohon atau sayur, ke pande besi Pongangan memoles sabit atau golok, masih naik motor sendiri.
Sebagai cucu-cucu terkecil, cucu-cucu buyut Mbahko yang umurnya lebih tua dari kalian, memanggil Om dan Tante kepada kalian. Semoga Mbahko selalu sehat hingga kalian besar nanti. Embah buyut, orang tua Mbahko dulu juga mencapai usia dekat 100 tahun.
Bapak yang mulai pelupa ingin menuliskan cerita-cerita tentang Mbahko, yang hanya bapak dengar saat menemani Mbahko bertemu teman-temannya di kesempatan lebaran atau hajatan dulu. Juga baru keluar cerita-cerita masa lalu dari mbahko saat menerima mantan murid-muridnya di hari lebaran.
Pernah seorang murid Mbahko yang juga menjadi kepala sekolah, membawa rombongan anak cucu dan buyutnya, mengunjungi Mbahko di masa lebaran beberapa tahun yang lalu. Beliau ingin menunjukkan kepada anak cucunya, yang menganggapnya sudah sepuh, satu gurunya yang masih hidup.
Mbahko dulu seorang guru SR, Sekolah Rakyat, yang kemudian berubah menjadi SD, hingga pensiun sebagai kepala SDN Sukorejo 1 Gunungpati Semarang, tempat kalian sekolah saat ini. Dulu Mbahko yang mendirikan sekolah ini, hingga berkembang menjadi SDN 1-5 di kelurahan Sukorejo pada tahun 1980-an saat booming anak sekolah, dan sekarang tinggal SDN1-3 karena keberhasilan program KB di jaman presiden Mbah Soeharto.
SD Negeri kok didirikan perseorangan, mana bisa? Dulu tahun 1950-an tidak ada sekolah di kelurahan Sukorejo. Sebelumnya ada SR, yang gurunya adalah bapak dari Mbahuti - Embah Putri, ditutup karena tidak ada murid. Mbahko mengajar di desa lain. Lalu suatu ketika ada kabar yang diterima Mbah Lurah Mochtar, yang seangkatan usia dengan Mbahko, bahwa Dinas Pendidikan Kecamatan Gunungpati membuka peluang didirikan sekolahan di kelurahan Sukorejo, asal ada tempat, peralatan, dan murid.
Kabar itu meski mendadak, disambut gembira oleh Mbahko. Kabar itu diterima hari Rabu, dan bila di desa Sukorejo siap, hari Senin minggu depannya tempat dan kelengkapan akan diperiksa oleh Penilik Dinas Pendidikan kecamatan.
Mbahko menyatakan siap, dan meminta Mbah Lurah Mochtar untuk menyampaikan kesiapan diperiksa kepada Dinas Pendidikan kecamatan. Mbah Lurah sempat ragu, tapi Mbahko meyakinkan, nanti hari Senin saat Penilik hadir kelengkapan sudah siap. Dan bila ternyata belum siap juga, itu urusan belakangan, kalau mau dimarahi atau dihukum.
Selama 3 hari siang dan malam, Mbahko memperluas dapur rumah dengan bilik anyaman bambu dan atap ilalang. Bersama tukang membuat bangku dan kursi sekolah juga papan sekolah. Jaman itu tidak gampang untuk mencari bahan kayu siap pakai.
Mbahko hari Rabu malam itu juga berangkat ke kampung asalnya di desa Mangunsari, 8 kilo dari kampung kita. Mbahko mengajak tetangga tukang kayu yang ada di Mangunsari, seharian mengumpulkan papan kayu, lalu Kamis malam itu juga dibawa dipanggul berombongan pulang ke rumah. Jalan kaki adalah moda transport satu-satunya saat itu. Kondisi jalan antar desa masih buruk, gerobakpun tidak ada.
Sampai malam Senin pembuatan peralatan masih berlangsung. Meja bangku panjang 2 meter, kursi bangku panjang 2 meter, berhasil dibuat 4 pasang dan papan tulis. Ruang kelas yang menempel rumah Mbahko, beratap ilalang, dinding anyaman bambu, berlantai tanah, selebar 5x6 meter.