Â
Â
- foto kompas.com -
Aku seorang relawan Jokowi. Bukan anggota suatu partai pendukung Jokowi. Tidak ikut organisasi relawan yang di masa kampanye banyak mendeklarasikan diri. Tanpa koar di media sebagai komentator, maupun dunia sosmed yang dijuluki cyber army. Belum kenal reportase warga semacam kompasiana untuk ikut perang opini. Aku memantapkan diriku, keluargaku, mengajak tetangga-tetanggaku, rekan-rekan kerjaku, menyebarkan informasi positif, mengklarifikasi informasi negatif dan fitnah kepada Jokowi. Aku mengompori siluman-siluman kenalanku, untuk melawan demit-demit yang gentayangan di tanah Jawa menyebar kebencian kepada Jokowi, kepada orang-orang berbisik ke dalam hati.
Aku relawan tanpa perekrutan, tanpa bayaran, tanpa mengharap imbalan. Bergerak karena hati tergerak, di saat-saat genting menjelang pergantian kepemimpinan nasional, tanpa tokoh yang dapat dirasakan sebagai seorang negarawan. Calon-calon pemimpin yang ada hanya stock lama, yang berbaju dan berbau dosa-dosa, yang rakyat juga belum lupa. Kemunculan Jokowi yang tiba-tiba, dari antah barantah seolah-olah seperti seorang satria muda, yang dilemparkan keluar dari hutan wingit jatuh di tengah desa, yang sedang porak poranda diamuk para raksasa. Orang yang eling, waras dan waspada, pasti langsung ngeh, itulah dia ! ! ! Yang selama ini kita tunggu bersama ! ! !
Seorang copet mengenali copet lain tanpa berkenalan. Seorang gali preman mengenal gali lain dari saat pertama beradu pandangan. Seorang penakut menggerombol dengan penakut-penakut lain tanpa janjian. Seorang satria mengenali kemunculan Satria Utama sejak penglihatan pertama. Maka inilah Jokowi pemimpin yang kutunggu, selama ini tersembunyi dari harapan banyak orang menanti. Maka begitu kau muncul, ohh Jokowi .... hati sanubariku langsung bilang YA, itu dia !!! sebelum kutanya. Aku langsung mendukungmu walau kau belum dicalonkan. Kampanye gencar memperkenalkan siapa dirimu kepada semua orang di sekelilingku segera kulancarkan.
Relawan Jokowi bergerak sendiri-sendiri. Ibarat belalang terbang sendiri tanpa koordinasi, hanya dorongan di hati yang mengipasi. Tapi karena ada sejuta belalang, pada waktu dan arah yang sama terbang di ladang, jadilah badai belalang, yang membuat seorang raksasa penghadangpun terhempas tumbang. Bersama berjuta relawan lain mendukungmu menjadi pemimpin negeri ini aku berjuang. Alam semesta menjawab asa, doa, dan laku kami, engkau Jokowi menang.
Puas hatiku telah memenangkan Satria harapanku yang akan benahi negeriku yang sedang poranda. Di tanah penuh harta karun ini rakyat menderita diinjak-injak tarian para raksasa. Satria-satria kecil tak berdaya, calon-calon satria urung ke muka, bibit jiwa satria kuncup layu di dalam dada. Engkau datang, engkau kudukung, engkau menang. Jelas pasti bibit harapan negeri ini, boleh sekarang ditanam di bumi pertiwi, akan bersemi engkau sirami.
Purna tugasku mendukungmu. Kini engkau telah menjadi Satria nomor satu. Tombak pusaka kepemimpinan ada di tanganmu. Para relawan perseorangan mengundurkan diri satu persatu. Di media bisa terbaca mereka berpamitan bahkan sebelum peresmianmu. Ribuan organisasi relawan penuh syukur dalam pertemuan, bersilaturahmi denganmu. Dan saat mendengar mereka berpamitan, relawan akan dibubarkan, engkau tidak setuju? Katamu perjuangan belum usai, tak boleh bubar, harus 5 tahun lagi mendukungmu? Relawan harus waspada dimanapun berada, mengawasi perampok negara, penjarah dan penipu?
Lhohhh ...... aku merasa tertipu. Apa dirimu bukan sang Satria nomor satu? Acungkan tombak pusaka kepemimpinan di tanganmu, dan semua durjana yang melawan menghadang akan terjengkang. Acungkan tombak pusaka kepemimpinanmu ke langit, dan hujan kemakmuran akan jatuh ke bumi pertiwi membuat rakyatmu riang. Acungkan tombak pusaka kepemimpinanmu ke bumi, dan segala isinya akan muncul keluar sampai rakyatmu kenyang. Acungkan tombak pusaka kepemimpinanmu, dan gentarkan dunia, hingga yang ingin menista negeri kita menjadi gamang. Tidak bisakah engkau melakukan semua itu?
Jadi dirimu tak beda rakyat jelata seperti kami? Yang ingin teriak memprotes para pemimpin yang tidak melayani, justru minta serba dilayani. Yang tidak becus mengurus negeri, menghamburkan kekayaan ibu pertiwi, musnah semua dibawa kabur ke luar negeri. Yang puas hanya dengan sumpalan segenggam, membiarkan yang segudang dibawa penjahat lari. Ingin bertindak membenahi tak ada kuasa, karena sistem telah menjadi ruwet dan melanggengkan para raksasa, yang selalu terpilih memimpin kembali. Kami lupa awal mengapa kami menyukaimu adalah karena engkau seperti kami. Engkau Jokowi seperti kami-kami.
Jadi aku tertipu. Kukira telah selesai ku berjuang, dan kini giliran engkau memperjuangkanku. Ternyata kita harus berjuang bersama-sama. Engkau adalah perlambang kami di pucuk sana. Engkau menunjukkan yang kami derita. Engkau menyuarakan yang kami inginkan. Engkau menyampaikan yang kami harapkan. Engkau adalah corong kami sebagai penyambung lidah rakyat di kursi kepemimpinan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H