Mohon tunggu...
Abest
Abest Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Segala puji dan syukur untuk segalanya hari ini

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Buto Cakil Mati Karena Senjata Sendiri

22 Desember 2014   23:43 Diperbarui: 4 April 2017   18:26 3124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Raksasa Buto Cakil adalah tokoh pewayangan yang hanya ada di Jawa, tidak terdapat dalam kisah Mahabharata dari India. Sebagaimana umumnya buto, Cakil mewakili personifikasi orang jahat dalam tatanan masyarakat Jawa. 

Dan Cakil adalah pemimpin bagi kaumnya, seperti juga tokoh-tokoh wayang lain yang tampil dalam cerita wayang, adalah personifikasi para pemimpin, tidak ada rakyat biasa. 

Buto Cakil memiliki ciri fisik rahang bawah yang maju ke depan. Ciri khas dagu yang posisinya lebih maju, membuat nama Cakil digunakan oleh biker Indonesia untuk menyebut suatu jenis helm. 

Buto Cakil tidak garang ganas pemarah layaknya raksasa, justru suka bercanda dan pandai bersenang-senang. Buto Cakil adalah seorang pengeyel sejati, pantang menuruti perkataan orang lain. Kukuh dengan pendapat sendiri, akan dia pertahankan kalau perlu sampai mati. Itulah makanya dalam pertarungan dengan ksatria, tidak ada ceritanya Buto Cakil menyerah atau lari. 

Dia tinggal di hutan perbatasan, mengabdi pada kerajaan raksasa otoriter masa lalu, berbatasan dengan kerajaan yang dipimpin para ksatria baru, generasi yang lebih muda. 

Mental Buto Cakil sebenarnya bukan petarung tangguh, tidak berani cari perkara dengan raksasa lain, atau ksatria yang penampilannya sangar ala Bima atau Duryudana, sukanya mencegat ksatria kerempeng berpembawaan halus, atau ksatria muda (Bambang) lembut yang kira-kira mudah untuk dikalahkan. 

Itulah makanya dalam setiap penampilan Buto Cakil yang dipaparkan ki Dalang, dia selalu bertempur dengan Arjuna yang baru turun keluar dari pertapaan di pelosok. Arjuna versi Jawa, sosoknya bertubuh langsing, halus gerak geriknya, dan saat keluar dari pertapaan, tidak menyandang pakaian kebesaran ksatria, tapi berpenampilan ndeso seadanya. 

Pada kisah lain, Buto Cakil bertempur dengan Bambangan, ksatria muda yang baru keluar dari padepokan. Biasanya adalah putra Arjuna yang dalam setiap kegiatan blusukannya tak lupa menikahi perawan desa putra pertapa. Jadi lagi-lagi seperti bapaknya, ksatria muda ini juga halus kerempeng dan ndeso pula. 

Buto Cakil mencegat sang ksatria di hutan, tidak meminta harta, karena jelas sang ksatria sederhana dari bertapa tidak membekal apa-apa, bahkan juga tidak membawa senjata. Buto Cakil langsung tanpa tedeng aling-aling meminta nyawa. 

Bicaranya tidak menghardik atau menggelegar menakutkan, Buto Cakil justru gayanya cengengesan. Sudah tentu akhirnya pertarungan yang terjadi, karena tidak ada yang perlu dirundingkan dengan Buto yang meminta nyawa. 

Pertarungan tangan kosong dimenangkan ksatria kerempeng dengan mudah, karena Buto Cakil tidak bisa menggigit dengan posisi rahang bawahnya yang maju, aneh dan tidak efektif. Akhirnya Buto Cakil mencabut keris, menyerang sang ksatria ndeso dengan kerisnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun