Mohon tunggu...
Abest
Abest Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Segala puji dan syukur untuk segalanya hari ini

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Pak Mendikbud, Wajibkan Siswa untuk Membaca

10 Januari 2015   07:13 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:26 398
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_389761" align="aligncenter" width="624" caption="Anak-anak sekolah (M Latief/KOMPAS.com)"][/caption]

Bapak Menteri Anies Baswedan yang saya hormati dan saya banggakan,

Saya salut dengan gerakan Indonesia Mengajar yang dulu Bapak lakukan. Sudah terlalu lama terjadi kurangnya tenaga pengajar terutama di pelosok-pelosok Indonesia.

Sedangkan tingkat membaca bangsa Indonesia juga memprihatinkan. Seandainya ada tokoh yang membuat gerakan Indonesia Membaca, efeknya juga tidak akan terlalu signifikan. Sudah banyak gerakan kampanye membaca yang selama ini dilakukan, baik oleh lembaga non pemerintah, oleh pemerintah, oleh Ibu Negara lalu dengan Indonesia Pintar, dan oleh pribadi-pribadi di seluruh pelosok sampai di desa-desa. Tapi tingkat membaca orang Indonesia masih rendah dibanding negara-negara lain.

Membaca adalah jendela ilmu. Kemajuan suatu bangsa bisa dikaitkan langsung dengan kegemaran membaca bangsa tersebut. Membaca adalah pangkal pendidikan dan pengetahuan. Membaca itu sangat penting. Bapak Anies lebih paham dan lebih pandai daripada saya dalam pembahasan soal ini.

Apa yang ingin saya sampaikan, hal sederhana yang telah saya amati dari pengalaman pendidikan saya di Indonesia sejak kecil, mohon maaf  bila Bapak sudah mengetahui dan 'ngeh' juga. Usia Bapak yang sepantaran saya, saya perkirakan menjalani pendidikan dasar dan menengah yang sama kurikulumnya dengan yang saya alami.

Dari beberapa film luar negeri, misal film Amerika, yang berlatar remaja, ada gambaran proses belajar di ruang kelas. Guru melontarkan pertanyaan meminta pendapat masing-masing siswa mengenai suatu buku. Para siswa telah diberi tugas membaca buku tersebut di rumah.

Hal seperti itu, guru memberi tugas kepada murid-muridnya untuk membaca satu buku, lalu membahasnya di kelas, tidak pernah saya alami sepanjang sekolah saya. Hal yang sama masih terjadi sekarang pada anak-anak saya yang sekolah di sekolahan biasa di Indonesia. Entah dengan yang terjadi di sekolah elite, istimewa, apalagi sekolah di luar negeri.

Ketika siswa sudah sangat fasih membaca, di SMP dan SMA, yang dipelajari adalah menghapalkan, pengarang masa lalu siapa, mengarang buku berjudul apa, mungkin dengan sedikit tambahan ringkasan satu paragraf tentang isinya. Siswa hanya menghapalkan daftar nama pengarang dan judul buku karyanya. Lelucon luar biasa yang berjalan puluhan tahun. Jangankan sampai membaca bukunya, buku yang dijadikan bahan pelajaran juga tidak ada di perpustakaan. Dan perpustakaan juga belum tentu ada di setiap sekolah.

Di masa Presiden Soeharto membuat program SD Inpres di tahun 70an, saya masih ingat saat kelas IV dilakukan dropping buku-buku cerita untuk perpustakaan SD. Dan buku itu teronggok saja di kantor guru. Jangankan para murid membacanya, para guru pun tidak membaca buku-buku tersebut. Hanya segelintir murid tidak normal yang meminta ijin guru untuk meminjam buku-buku tersebut, membacanya di rumah. Dan dropping buku-buku terbitan Balai Pustaka itu menjadi yang pertama dan terakhir di sekolah.

Bagaimana akan menjadi bangsa yang gemar membaca, bila situasi pendidikan tidak membentuk watak gemar membaca kepada anak-anak sekolah. Kondisi lain seperti sedikitnya judul buku baru, jumlah buku yang terbit atau dicetak, sedikitnya jumlah penulis, secara pasti mengikuti rendahnya minat baca orang Indonesia. Menjadi menggelikan ajakan untuk gemar menulis pada saat ini, karena siapa yang akan membaca? Hanya impian di Indonesia, bila buku best seller terjual jutaan copy, atau oplah koran mencapai belasan juta seperti di negara lain yang jumlah penduduknya tidak ada separo penduduk Indonesia.

Segala macam gerakan, himbauan, kampanye untuk gemar membaca, tidak akan mempan untuk masyarakat Indonesia. Sebagai contoh konkrit, harus ada Undang-Undang yang mewajibkan pemakaian helm untuk pengendara motor dengan pengawasan ketat Polantas di jalan, dan hukuman bagi pelanggarnya yang bisa membuat semua pengendara motor memakai helm. Dan terbukti sekarang memakai helm menjadi kebiasaan para pengendara motor, bahkan menjadi kebutuhan, baik untuk keselamatan maupun untuk gaya penampilan.

Maka kegiatan membaca harus dipadukan dalam kurikulum sekolah. Buku-buku dongeng, dan segala macam buku pengetahuan, untuk segala tingkatan disediakan oleh negara di setiap sekolah. Para guru mewajibkan siswa untuk membaca dan menelaah buku, entah satu atau berapa judul judul sebulan. Implementasi perpaduannya dalam proses pembelajaran, Bapak dan para cerdik pandai di Departemen Pendidikan lebih tahu dan lebih ahli.

Apa yang telah Bapak Anies lakukan di keluarga dengan menyediakan buku-buku di rumah dan membiasakan putra putri Bapak untuk membaca buku, dan yang juga dilakukan oleh orang-orang terpelajar lain, saatnya sekarang Bapak lakukan untuk anak-anak sekolah se Indonesia, karena sekarang Bapak Anies adalah bapak mereka semua.

Hasil yang diharapkan adalah akan terbentuk generasi baru yang gemar membaca, yang menjadi manusia-manusia Indonesia yang lebih berpengetahuan. Sehingga akan lebih mendukung pencapaian Indonesia yang berkembang maju dan beradab.

Bapak Anies Baswedan adalah Menteri Pendidikan saat ini, yang memiliki wewenang mengatur kurikulum pendidikan dasar dan menengah. Bapak Presiden Joko Widodo juga memiliki kelonggaran anggaran hasil pengalihan subsidi minyak, sangat ringan untuk sekedar membiayai pencetakan ratusan juta buku untuk bacaan para siswa Indonesia.

Bila hal ini bisa dilaksanakan, saya yakin seperti Restorasi Meiji menjadi torehan sejarah di Jepang, maka nama Bapak akan tercatat dalam sejarah pendidikan Indonesia. Pemerintahan Presiden Joko Widodo adalah fondasi yang baik untuk melaksanakan restorasi pendidikan  Indonesia.

Saya tidak memiliki jalur untuk menyampaikan usulan ini secara langsung kepada Bapak, juga nampaknya kecil kemungkinan Bapak Anies atau lingkaran terdekat membaca tulisan ini. Tapi saya yakin ide usulan ini akan sampai kepada Bapak.

Akhirul kata, saya mohon maaf untuk tutur kata yang tidak pantas dan kesembronoan saya bila tidak berkenan di hati Bapak.

Saatnya Indonesia hebat bangkit !

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun