Etika administrasi publik adalah seperangkat prinsip yang mana sebagai pedoman untuk administrator publik dalam menjalankan kewenangan dan tugasnya. Menurut para ahli, etika ini berkaitan erat dengan nilai-nilai moral, kejujuran, transparansi, akuntabilitas, dan pelayanan masyarakat. Dalam konteks pengaturan larangan rangkap jabatan Menteri di Indonesia, etika administrasi publik penting untuk mencegah konflik kepentingan, penyalahgunaan wewenang, serta memastikan integritas dan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga negara. Pelanggaran terhadap etika administrasi publik dapat merugikan hubungan antara pemerintah dan masyarakat serta melemahkan fondasi demokrasi. Salah satu pelanggaran yang biasa tersorot selain korupsi adalah nepotisme. Baru-baru ini telah terjadi nepotisme ditengah huru-hara pemilihan umum 2024 yang melibatkan keluarga Presiden yang menjabat saat ini Jokowi Dodo.
Nepotisme adalah jenis konflik kepentingan khusus yang muncul saat seorang pegawai birokrasi ataupun pejabat publik dipengaruhi oleh kepentingan pribadinya untuk menjalankan tugasnya. Dalam artian luas, nepotisme secara mendasar berjalan pada kondisi yang begitu khusus, yakni pada hal seseorang mempergunakan jabatannya supaya mendapatkan keuntungan, seringkali pada bentuk pekerjaan untuk anggota keluarganya di mana setiap tindakan penyelenggara negara dengan melawan hukum memberi keuntungan kepentingan keluarga dan atau dapat dengan mudah untuk merugikan individu lain, masyarakat, dan atau negara. Larangan nepotisme ini artinya larangan bagi penyelenggara negara mempergunakan ataupun menyalahgunakan jabatannya di lembaga publik supaya memberikan jabatan publik pada keluarganya. Hal ini dikarenakan nepotisme bisa menyebabkan konflik loyalitas pada organisasi. Pada kenyataannya, praktik nepotisme masih sering terjadi di Indonesia, bahkan sudah menjadi rahasia umum, masyarakat masih menganggap bahwa nepotisme tidak seserius korupsi. Padahal, pemberlakuan UU No. 28/1999 ialah dasar hukum yang melarang praktik nepotisme, seperti halnya korupsi serta kolusi.
- Hubungan Antara Nepotisme Dengan Pelanggaran Etika Administrasi Publik
Hubungan antara nepotisme dan pelanggaran etika administrasi publik adalah bahwa nepotisme dapat menyimpang dari hukum dan melanggar prinsip-prinsip etika, seperti kepentingan publik, keterbukaan dan transparansi. Nepotisme dapat menimbulkan konflik moral yang signifikan, baik di lingkungan kerja maupun dalam konteks sosial yang lebih luas, terutama karena konflik antara kepentingan profesional dan loyalitas keluarga. Banyak "malpraktik" dalam birokrasi yang telah diekspos oleh publik, termasuk korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) merupakan tindakan yang tidak sesuai dari hukum dan menyalahgunakan penegakan hukum. Hal ini diakibatkan karena etika penyelenggaraan negara untuk revitalisasi manajemen pemerintahan dan upaya menata kembali tata kelola pemerintahan Indonesia tak berdasarkan pada tata kelola pemerintahan yang baik. Untuk mengendalikan nepotisme dan pelanggaran etika penyelenggaraan negara diperlukan pemahaman etika yang baik, karena penyelenggara negara akan berpengaruh terhadap masyarakat dan konsumen yang dilayaninya. Ketika penyelenggara negara lebih mengutamakan kepentingan keluarga atau teman daripada kepentingan publik, maka masyarakat akan merasa tidak diperhatikan dan tidak mendapatkan keadilan. Hal ini dapat menyebabkan kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap penyelenggaraan negara. Maka, nepotisme adalah sebuah tindakan atau perilaku ataupun pengambilan keputusan yang subyektif dengan lebih dulu menunjuk maupun memberikan jalan dengan berbentuk apapun kepada keluarga, kelompok, atau golongannya agar menduduki sebuah jabatan maupun kedudukan khusus.
ANALISIS KASUS
Penyelenggara negara, memiliki kewajiban dalam mematuhi kode etik yang telah menjadi aturan. Namun, dalam menjalankan wewenangnya sering kali ditemukan pelanggaran oleh aparat negara tak bertanggung jawab yang menggunakan kekuasaannya untuk kepentingan sendiri atau bahkan keluarganya. Salah satu pelanggaran etika yang terkenal terjadi di Indonesia adalah nepotisme. Nepotisme adalah kasus dimana pejabat negara lebih memetingkan hubungan antara kerabat dekatnya dan keluarga sehingga tugas utama untuk mensejahterakan rakyat kerap dilupakan. Satu di antara contoh kasus yang baru-baru ini bisa diambil ialah pemberhentian secara tidak hormat Anwar Husman akibat keberpihakannya terhadap Wali Kota Solo yaitu Gibran Rakabuming Raka sebagai keponakannya sendiri.
Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah sendiri sudah mengesahkan UU No. 24 Tahun 2023 mengenai Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai Mahkamah Konstitusi pada sistem ketatanegaraan Indonesia, pandangan utamanya adalah menguji dan menjamin undang-undang tetap ada pada ruang lingkup konstitusi, hingga hak konstitusional rakyat tetap terjaga dan konstitusionalitas penyelenggaraan negara mendapat jaminan. Untuk melindungi hak-hak konstitusional warganya, hal tersebut tercantum pada satu di antara kewenangan MK demikian tercantum pada Pasal 24C (1), yakni memutus perselisihan mengenai hasil pemilihan umum. Namun, pada saat pengajuan pencalonan Presiden dan Wakil Presiden lalu banyak pihak yang merasa apabila Mahkamah Konstitusional melanggar aturan undang-undang yang telah ditentukan mengenai persyaratan calon Wakil Presiden untuk Pemilihan Umum. Berbagai pihak merasakan hak konstitusional mereka dirugikan dalam memilih calon presiden/kawapres yang memiliki usia kurang dari 40 tahun untuk dipilih pada Pemilu 2024.
Pada awalnya, Pasal 169 (q) UU No. 7 Tahun 2017 yang berisikan mengenai batas usia calon Presiden yaitu 40 tahun justru ditambah dengan putusan MK dengan pemohon nomor 90/PUU-XXI/2023, sehingga berisikan “....berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah” Sontak hal ini memicu banyak pertanyaan dan pendapat berbeda dari masyarakat. Putusan oleh Ketua MK tersebut diduga akibat adanya keterlibatan antara Anwar Usman sebagai Ketua MK yang memiliki hubungan keluarga dengan individu lainnya. Hal ini juga diperkuat lagi dengan permohonan 90/PUU-XXI/3023 yang mana pemohon mendorong Wali Kota Solo keponakan Anwar Usman sendiri, Gibran Rakabumin Raka, untuk mencalonkan dirinya sebagai presiden ataupun wakil presiden di tahun 2024.
Setelah melakukan berbagai persidangan yang panjang, Ketua MK Anwar Usman pada saat itu dianggap telah melanggar 5 prinsip kode etik. Prinsip tersebut adalah Ketidakberpihakan, Prinsip Integritas, Prinsip Kecakapan dan Keseksamaan, Prinsip Independensi, dan Prinsip Kepantasan dan Kesopanan. Hal tersebut dinyatakan pada sidang yang dilaksanakan di hari Selasa (7/11/23) di Ruang Sidang Pleno Gedung I MK. Salah satu prinsip kode etik yang perlu disorot dari banyaknya kode etik MK yang dilanggar oleh Usman Anwar adalah prinsip kode etik ketidakberpihakan. Prinsip ini sangat-sangat memetingkan kepentingan umum dan MK harus menjadi pihak netral karena kegiatan MK sangat berkaitan dengan hukum, dimulai sedari pemeriksaan sampai pengambilan keputusan untuk tiap kasusnya. Prinsip tersebut pada akhirnya akan mewajibkan Hakim Konstitusi harus mundur karena bersifat tidak netral dan mementingkan urusan keluarganya sehingga dapat merugikan banyak pihak terutama calon wakil presiden lainnya yang maju untuk Pemilihan Umum Tahun 2024. Namun, pada kasusnya Anwar justru tidak melakukan tindakan pengunduran diri sehingga harus dilakukan pemberhentian dan secara tidak langsung pula melanggar prinsip integritas yang telah ditetapkan dalam kode etik MK.
Akibat perilakunya, MKMK menerima sebanyak 21 laporan akibat dugaan pelanggaran Kode Etik dan dugaan perilaku hakim konstitusi mengenai Putusan 90/PUU-XXI/2023. MKMK melakukan proses pengujian yang mendapatkan putusan yang menyatakan Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman bersalah melakukan pelanggaran Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi (Sapta Khalsa Hutama). Melihat masalah tersebut, alhasil Ketua MKMK Jimri Asidiky didampingi anggota MKMK Wahiduddin Adams dan Bintan R. Saragi, saat diundangkan Keputusan MKMK Nomor 02/MKMK/L/11/2023 tanggal 7 November 2023 memberikan keputusan dalam diberhentikannya Anwar Usman dari jabatannya dari Ketua MK. Tak hanya diberikan pemberhentian, Anwar Usman tidak boleh mencalonkan dirinya kembali sebelum masa jabatannya habis dan tidak boleh terlibat untuk mengadili perkara sengketa hasil pemilihan kepala pemerintah (Presiden, Wakil Presiden, Gubernur, Bupati, dan Walikota) serta pemilihan anggota legislatif (DPR, DPD, dan DPRD). Setelah dicabut jabatannya, Wakil Ketua MK diputuskan untuk menggantikan Anwar Usman dalam memimpin pemilihan umum dalam waktu 2x24 jam sejak putusan dibacakan.
Melihat hal tersebut tentulah Anwar Usman telah melakukan pelanggaran etika dalam administrasi publik, karena sebagai Ketua Mahakamah Agung sudah seharusnya Anwar Usman memiliki sikap tidak berpihak atau netral terutama dalam pemilihan calon Presiden. Anwar Usman justru mengutamakan kepentingan keluarganya sendiri atau melakukan tindakan Nepotisme. Anwar Usman sebagai ketua MK juga telah melanggar nilai-nilai etika administrasi publik seperti nilai impersonal dimana beliau melakukan tugasnya secara personal dan nilai mertal system dimana keputusan yang beliau ambil justru didasari dengan hubungan kerabat. Melihat pelanggaran ini sangat disayangkan telah terjadi nepotisme yang berhubungan dengan para pejabat tinggi negara, seperti Presiden, Ketua MK, dan Wali Kota Solo yang sejatinya masyarakat umum tau bahwa mereka memiliki hubungan keluarga sebagai ayah, anak dan paman.
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) kini kerap menjadi masalah yang biasa dihadapi. Padahal pelanggaran ini memiliki potensi besar yang dapat mempengaruhi kinerja Aparatur Sipil Negara. Sangat disayangkan seorang yang seharusnya menjadi panutan negara justru terlibat dalam nepotisme. Presiden, Ketua MK, dan Wali Kota Solo yang memiliki hubungan keluarga justru memberikan contoh negatif dalam praktik nepostisme. Hal ini akan menjadi pandangan bagi aparatur negara lainnya, sehingga mereka tidak akan kapok dalam melakukan tindakan-tindakan yang dapat merugikan negara. Sebelumnya kasus ini terjadi, sudah banyak pula kasus nepotisme yang terjadi terutama dalam penerimaan PNS dimana keluarga mereka yang memiliki kedudukan di dinas-dinas akan mengutamakan kelulusan anggota keluarganya atau kerabat dekatnya. Selain itu, nepotisme pula dapat memicu suap yang berujung pada kasus korupsi.
DAFTAR PUSTAKA
Koenti, I. J., Ethika, T. D. D., & Suprihandoko, R. (2022, December). Aktualisasi Pancasila dalam Etika Penyelenggara Negara untuk Mewujudkan Negara yang Bersih Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. In Prosiding Seminar Nasional Program Doktor Ilmu Hukum (pp. 221-233).
Nuraini, S. (2020). Penerapan etika administrasi publik sebagai upaya dalam mewujudkan good governance. Jurnal Ilmiah Magister Ilmu Administrasi, 14(1).
Lazuardi, T., & YUNIAWAN, A. (2014). Nepotisme dalam proses rekrutmen dan seleksi: potensi dan kelemahan (Doctoral dissertation, Fakultas Ekonomika dan Bisnis).
Zulqarnain, C. D. M., Zamri, N. S., & Mahardika, R. (2023). Analisis Pelanggaran Kode Etik Dalam Kasus Pemberhentian Ketua Mk Anwar Usman Terkait Putusan Batas Usia Capres Dan Cawapres Pada Pemilu 2024. Kultura: Jurnal Ilmu Hukum, Sosial, dan Humaniora, 1(2), 85-94.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H