Mohon tunggu...
Ally Willow
Ally Willow Mohon Tunggu... profesional -

Mari duduk dekat sini, ceritakan aku tentang sesuatu yang belum pernah ada!

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Prolog

18 April 2011   13:07 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:40 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

INI cerita saya, cerita kebanyakan tentang perempuan Indonesia. Tidak banyak yang berbeda dalam segala hal, terutama dalam kehidupan sehari-hari. Saya dilahirkan di lingkungan pedesaan yang saat ini tidak pernah saya kunjungi lagi setelah saya duduk di bangku sekolah menengah atas kelas dua. Sependengaran saya, Ibu pernah bercerita bagaimana saya dilahirkan. Prosesi kelahiran saya memiliki cerita tersendiri ketimbang tiga saudara saya yang semuanya perempuan. Ibu menuturkan, saya dilahirkan di rumah, tepatnya di tengah rumah dengan hanya beralaskan tikar. Ironis, memang tapi itu itu adalah kenyataan yang merupakan history kelahiran saya. Tidak sama dengan ketiga saudara saya yang semuanya dilahirkan di ruang persalinan praktek bidan ternama saat itu. Lalu Ibu menambahkan, walau pada akhirnya Ibu tetap ditangani sang Bidan namun keberadaannya hanya untuk memastikan saya dan Ibu dalam keadaan sehat.

Saya merupakan anak kedua dari empat anak Ibu yang semuanya perempuan tangguh seperti Ibu. Ketangguhan yang kami miliki, saya yakin seratus persen benar diturunkan oleh Ibu. Mengapa saya katakan Ibu adalah seorang yang tangguh karena saya sudah melihatnya sendiri dengan mata kepala saya sendiri betapa tangguh dan tegarnya dia sebagai seorang perempuan. Ibu sudah sering kali melewati masa sulit di mana dia harus bekerja saat usianya masih belia. Kendati hasratnya untuk mengenyam pendidikan hingga ke jenjang lebih tinggi pupus hanya karena dia seorang perempuan namun kesabaran yang dimilikinya melebihi seorang ilmuwan. Dia pernah bercerita, dirinya harus selalu pulang larut malam karena harus berjualan lengko atau bahasa yang dikenal kebanyakan orang adalah Ketoprak Cirebon. Ibu adalah anak kedua dari lima bersaudara namun posisinya berubah ketika kakaknya meninggal pada usia muda.

Ketiga adiknya semua lelaki, tapi ketangguhannya jelas jauh sekali di bawah Ibu yang hanya seorang perempuan Indonesia biasa. Kepiawaiannya dalam berdagang sejak belia, mengantarkan kesuksesannya hari ini. Ibu benar-benar hebat di mata saya dan anak perempuannya yang lain. Ibu tetap berada di dekat anak-anaknya walau terkadang dia sadar tak bisa memberi pembelaan apa pun ketika anak-anak perempuannya melakukan kesalahan. Ibu berdiri mantap layaknya Tembok China membentengi anak-ananaknya ketika tangan besi Ayah disasarkan ke wajah anak-anaknya. Bahkan Ibu tak bergeming ketika jari-jari ayah tergambar jelas di wajahnya. Pun ketika hatinya dikhianati, dia tetap tegar dan setia mendampingi Ayah yang berhati baja. Sekali lagi, saya katakan tanpa menambah pengertian apa pun, Ibu saya benar-benar tangguh.

Jarak usia saya dengan Agis, kakak sulung saya tidak terpaut jauh, hanya 3 tahun. Tidak seperti jarak usia saya dengan adik saya Riina yang terpaut jauh hingga 14 tahun. Apa lagi dengan adik saya yang bungsu Acha, terpaut jauh sekali hingga 19 tahun. Mungkin karena terpaut usia yang jauh sekali itu juga yang menyebabkan mengapa ikatan emosional saya dengan si bungsu tidak terlalu dekat. Alasan lainnya mungkin karena dia terlalu dekat dengan Ayah, orang yang selalu bertentangan dengan pemikiran saya hingga hari ini. Atau mungkin karena saat si Bungsu dilahirkan saya tengah asyik-asyiknya dengan kuliah saya di rantauan. Sehingga saya tidak pernah lama merasakan hidup serumah dengannya. Walau demikian, saya tetap merindukannya ketika melihat gambar wajah si bungsu di facebook Farhan yang di-tag di dinding facebook saya baru-baru ini. Perasaan bersalah saya datang ketika saya menyadari tidak pernah membagi waktu dan perhatian untuknya. Tapi perasaan itu segera hilang ketika saya ingat masih ada Ibu yang selalu menjaganya dengan sepenuh hati. Tubuh mungilnya yang seputih lobak kini tumbuh lebih besar dari yang pernah kami prediksikan dulu ketika usianya masih hitungan hari. Si bungsu sehat dan lebih kuat dari yang saya bayangkan.

Begitu juga  Si Pengais Bungsu, yang selalu saya khawatirkan sejak saya menungguinya lahir di ruang persailan Bidan teladan se-Tangerang. Terciptanya kekhawatiran saya karena Ayah tak kunjung datang ke tempat persalinan si Pengais Bungsu, kendati Ayah sudah diberi kabar tentang kelahirannya. Saya melihat raut wajah kecewa Ayah ketika mendapati kabar anak ketiganya berjenis kelamin perempuan lagi. Waktu itu Ayah datang setelah si Pengais Bungsu usai dimandikan oleh seorang asisten bidan yang memiliki ilmu persalinan dari pengalamannya sebagai seorang dukun beranak terkenal di Desa Kamurang. Kekhawatiran saya pun bertambah berlipat-lipat ketika dia terjatuh dari buaian tangan saya saat si Pengais Bungsu masih sangat bayi. Tapi sungguh di luar bayangan saya, si Pengais Bungsu menjadi perempuan tercerdas di antara kami berempat. Walau tak banyak maunya, dia selalu menjadi yang terbaik dalam hal prestasi sekolah di antara kami berempat. Subhanallah, semoga Allah selalu memberikan kesehatan dan kecerdasan untuk si Pengais Bungsu.

Beda halnya dengan si Sulung, kendati prestasi sekolahnya tidak lebih hebat dari saya dan si Pengais Bungsu, namun keberadaannya selalu menjadi pemersatu dalam keluarga kami. Dia selalu hadir sebagai teladan bagi adik-adiknya, walau tidak selalu benar apa yang selalu disikapinya. Si Sulung bagai cermin yang selalu menyadarkan siapa kami sebenarnya dan selalu mengingatkan anak-anak Ibu untuk selalu saling menjaga dan menyayangi.

Si Sulung, si Pengais Bungsu dan si Bungsu benar-benar hadir di dalam keluarga sederhana kami yang memiliki segudang cerita dan memberikan warnanya masing-masing. Kehadiran mereka juga memberikan saya warna yang berbeda dan menguatkan saya yang selalu jauh dari rumah.

-End-

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun