Rousseau lagi-lagi menerobos pikiranku. Ia mengingatkan tentang kehancuran kontrak sosial, komitmen kita terhadap kehendak kolektif. Aku melihat orang-orang seperti diriku menjadi simbol pemberontakan ego terhadap harapan masyarakat. Aku tertawa pedih di depan cermin. Bahkan dalam pelayanan, aku menemukan "keuntungan pribadi" yang selalu kukemas rapi dalam nama publik.
Ah, diriku! Bukankah engkau hanya makhluk lemah, mencari kekuasaan sebagai topeng rasa takut? Setiap keputusan yang kugumuli terlalu sering diwarnai pragmatisme oportunis ala Machiavelli. Segala hal kuhalalkan demi posisi dan legitimasi, seolah keadilan Rawls hanyalah diskursus pustaka.
Michel Foucault merangkum perasaanku: "Kekuasaan adalah jaringan relasi, bukan alat dominasi. Tapi kau menjadikannya mekanisme eksklusif untuk mengontrol kebenaran, bukan merawat kepercayaan." Paradigma otoritarianisme adalah jubah yang terlalu sering kugunakan tanpa sadar.
Kini, dalam hening, aku menyadari satu hal. Jika diriku masih belum selesai dengan segala persoalan internal, ambisi narsistik, kebutuhan materi, dan pencarian status, aku tidak pantas menjadi pemimpin!. Aku hanya akan membawa kehancuran; tidak pada jabatan itu sendiri, tetapi pada makna luhur kekuasaan.
Sampai kapan aku harus menyelesaikan diriku sendiri? Mungkin selamanya. Tetapi, hanya dalam proses itu aku bisa menghentikan tirani egoku sebelum dunia menghakimiku. Dan, sungguh, dunia tidak pernah selembut suara batin. Aku kembali menatap cermin. Di sana, sang bayangan tersenyum penuh kecut dalam kelembutannya. Hindari! Hentikan! Cegah dan selesaikan dirimu! Perintahnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H