DUNIA TAK PERNAH SELEMBUT CERMINÂ
Oleh: Habiburrahman
Di ruang diskusi yang sempit yang biasa kuhadiri, kebiasaan yang sering kuulang ketika ideku mulai terusik oleh kegelisahanku sendiri. Aku berdiri di depan cermin besar kehidupan, mencoba mengintip bayangan yang tak utuh. Apakah diriku pantas? Pertanyaan itu melayang seperti ancaman, lebih kerap bertindak sebagai cermin daripada jawaban. Bayangan itu, dengan kebeningannya yang palsu, memantulkan kekurangan. Di sana, aku melihat sosok penuh obsesi; haus akan pengakuan dan posisi strategis. Namun, pantaskah aku menyebut diriku pemimpin?
Suara Rousseau terngiang di telinga, mencambuk keras pikiranku: "Kekuasaan di tangan mereka yang belum selesai dengan dirinya sendiri hanya akan merusak tatanan sosial." Kata-kata itu mengingatkan, kekuasaan sering kali menjadi godaan terakhir bagi manusia lemah yang mencari pelarian dari kekosongan dirinya.
Dalam langkah-langkahku menuju kekuasaan, sebuah tanggung jawab ideal terasa semakin jauh. Akankah aku menjadi pelayan masyarakat? Ataukah hanya pemilik kursi mewah? Di balik setiap pidato altruistik yang kukemas, tersembunyi kalkulasi keuntungan pribadi.
Dunia yang kuhadapi begitu kompleks, penuh warna filsafat dan psikologi yang tumpang tindih. McClelland berkata, "Kebutuhan akan kekuasaan adalah kebutuhan manusiawi." Tapi sampai kapan aku akan menggunakan teori itu untuk melegitimasi ambisi sempit? Dalam batinku, aku tahu, kekuasaan tidak hanya berwajah ideal. Ia sering menjadi mimikri ego narsistik yang menolak introspeksi.
Pierre Bourdieu menyentil bahwa jabatan adalah kapital simbolik: pengakuan, kekayaan, pengaruh. Sejauh itu, apa bedanya aku dari mereka yang bercokol untuk meraih segalanya demi diri sendiri? Transparansi retoris sering hanya menjadi bayang-bayang slogan, sementara realitas kekuasaan adalah ruang transaksi. Dan di sudut itulah aku, menjadi mata uang keserakahan, alih-alih solusi rakyat.
Freud dalam tenangnya yang menusuk, berbisik tentang narsisme. "Apakah jabatan itu untuk dirimu, atau masyarakat? Mengapa ada keinginan menumpuk validasi eksternal untuk mengisi ruang kosong di dalam?" Di titik itu, cerminku bukan lagi reflektif; ia menjadi transparansi yang memberontak. Apakah aku sekadar bermain di atas panggung megah kepemimpinan palsu, mencari pengakuan dari mereka yang dulu meremehkanku?
Lantas Maslow melanjutkan renunganku, "Transendensi harus menjadi akhir kepemimpinanmu. Tapi bagaimana mungkin? Engkau masih bergelut dengan tahap kebutuhan akan harga diri. Jabatan strategismu hanya satu batu loncatan untuk kekuasaan lebih, bukan pelayanan yang tulus."
Di duniaku kini, rasanya jabatan terlalu sering menjadi arena untuk mereka yang belum selesai dengan perjalanan batin. Hegel menyatakan bahwa upaya menjadi "tuan" hanya akan menjadikanmu tawanan dari egomu sendiri. Apakah aku ingin menjadi itu?