Mohon tunggu...
AbieLabieba
AbieLabieba Mohon Tunggu... Guru - Belajar sebagai cara hidup

Sekolah Kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Catatan Syukur; Beban yang Berat Lebih Baik Ditinggalkan

23 Desember 2024   23:18 Diperbarui: 23 Desember 2024   23:31 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar Edited Abielabieba (Sumber : Template Canva App.)

CATATAN SYUKUR ; BEBAN YANG BERAT LEBIH BAIK DITINGGALKAN !
Oleh : Habiburrahman

Tuhan, aku bersyukur. Atas jalan-Mu yang tak pernah membuatku masuk ke derasnya arus sistem yang jika kutelisik lebih dalam, hanyalah jebakan penuh kepentingan. Aku tak mengatakan aku tak mampu berubah atau enggan berkontribusi dalam mengubah, tetapi nyatanya, sistem yang ada tak memberikan ruang kecuali untuk mereka yang bernyali baja, otot kawat, atau dengan bahasa yang lebih ekstrim, lidah yang lentur dan hati yang keras bak batu.

Apalah aku? Kemampuan ini hanyalah 0,1 dari berat 1.000 kali yang sistem itu bebankan. Jangankan memikulnya, melihatnya saja sudah cukup menyesakkan. Kusediakan ruang ini untuk refleksi, bukan untuk bersembunyi, melainkan karena menyadari bahwa beban seperti itu mungkin lebih tepat untuk para "pahlawan" sistem yang menikmati bebannya dengan imbalan takdir duniawi. (Al-Baqarah (2): 286, "Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya...")

Guru yang kuhormati pernah berkata, "Orang yang berharap diberikan tanggung jawab adalah orang hebat, dan mereka yang berharap atas beban berat adalah orang yang sangat luar biasa. Namun jika motifnya adalah materi dan kekuasaan, apalagi dengan cara meminta, maka bersiaplah ke jurang penghakiman yang pedih!" Betapa kata-kata ini, kini terasa seperti peringatan atas hasrat manusiawi yang kerap tergelincir oleh godaan.

Tetapi mari kita jujur, ada masalah besar dalam skenario ini: bahwa tak sedikit yang berharap mengangkat beban mulia justru kemudian menjual jiwa demi sepotong mahkota kotor. Beban itu tak lagi menjadi tanggung jawab, tetapi menjadi alat tukar untuk kekuasaan, status, atau pengakuan. Dalam paradigma ini, apakah yang mereka pikul beban sesungguhnya? Atau jangan-jangan, merekalah beban itu sendiri? (Al-Ghazali dalam Ihya Ulumiddin: "Kehancuran terbesar dari seorang pemimpin adalah ketika niatnya bukan untuk menegakkan kebenaran, tetapi untuk menggenggam kekuasaan.").

Menghindar dari arus ini, mungkin, adalah bentuk tanggung jawabku yang paling jujur. Sebab, harapan mengubah sebuah sistem tanpa kecukupan kemampuan hanya akan berakhir dengan dua kemungkinan: dihancurkan sistem itu atau justru menjadi bagian dari kerusakannya. Sang Guru pernah mengingatkan; "Kondisi sistem hari ini, tidak ikut merusak saja sudah menjadi pilihan yang sangat tepat!."

Pesan ini ingin kutujukan bukan hanya sebagai ungkapan syukur, tetapi juga sebagai peringatan diri: semoga kebijaksanaan menjauhkan kita dari memikul beban yang menguatkan sistem yang salah. Sebab lebih baik menjadi angin yang lewat, daripada menjadi ranting kering yang dipatahkan badai untuk sekadar dikorbankan sebagai bahan bakar api. (Dewi Anggraeni, Dunia Dalam Perspektif Satire: "Sistem yang cacat, meski kau perbaiki, tetap sistem itu akan menyesuaikan segala yang masuk untuk menjadi seperti dirinya.").

Buatlah semua menjadi sarana belajar, jika tidak mampu mengatakan atau melakukannya dengan  jujur, setidaknya belajarlah untuk tidak mengatakan dan tidak melakukan apa yang dianggap tidak benar dan tidak baik. Teruslah melangkah pada beban hidup yang memuliakan, bukan yang menjebak dalam penghakiman, apalagi berlindung atas nama kebaikan namun mengendap-endap mengais keuntungan demi seonggok elektabilitas yang sarat kepalsuan.

Tuhan, pada-Mu kusembah syukur,
Tak Kau biarkan kaki ini terbenam lumpur,
Dalam arus sistem yang deras kepentingan,
Sistem yang penuh jebakan di balik kilauan.

Bukan karena aku tak ingin berubah,
Atau enggan berkorban demi sebuah arah,
Namun kudapati beban itu bak gunung raksasa,
Dan aku hanya sebutir debu di dasar dunia.

Nyali baja, lidah lentur, hati serupa batu,
Itu syarat menapaki deras sistem yang palsu,
Tapi, wahai jiwa, apakah harga yang harus kau bayar?
Seteguk kuasa, segenggam dunia, atau kejatuhan yang menggema?

"Beban berat milik para luar biasa," kata guru,
"Tapi waspadalah pada hati yang buta,
Jika motifnya dunia, bukan ridhoNya,
Azab Tuhan menanti di jurang kehancuran."

Kutatap, kulepas beban itu dengan rasa lega,
Sebab lebih baik menjadi sunyi yang menjaga,
Daripada suara riuh penuh dusta,
Lebih baik melangkah pelan dalam terang,
Daripada menjadi pahlawan palsu yang dikenang.

Aku tak mau menjadi ranting kering,
Yang jatuh dipatahkan badai tanpa arti,
Apalagi terbakar dalam api kebodohan,
Hanya demi pengakuan yang sebentar.

Biarlah syukurku ini tak hanya memuliakan,
Namun juga menjadi pesan bagi hati yang gelap,
Bahwa langkah di jalan sunyi adalah kejujuran,
Yang menolak tunduk pada sistem yang gelap.

Karena hidup, adalah memilih beban yang memuliakan,
Bukan jebakan dunia yang menjatuhkan,
Semoga syukur ini menjadi jalan terang,
Hingga hati tetap hidup,
Dalam keindahan makna yang Kau berikan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun