GURU DAN KONTEN PEMBELAJARAN: ANTARA FAKTA DAN RAPINYA KEPALSUAN!
Oleh : Habiburrahman
Serius, tiba-tiba dikagetkan dengan pemandangan ketika kelas-kelas seolah menjadi panggung teater yang tak pernah sepi dari akting para pemerannya. Bukan, ini bukan pentas seni siswa, melainkan panggung lain yang lebih seru dengan adegan aksi para aktris sinetron: panggung para guru yang sibuk membuat video pembelajaran.Â
Ah, bukan untuk benar-benar mengajar, tentu saja, tetapi untuk menyenangkan mata para penonton di luar sana. Mulai dari pengawas, pejabat, atau mungkin rekan sejawat yang berharap mereka tak kalah cemerlang dalam balutan kurikulum. Satu hal yang pasti, video-video ini lebih dekat pada manipulasi ketimbang kebenaran. Yah, namanya juga adegan dan acting?
Ada pemandangan menarik setiap kali deadline pembuatan konten video tiba. Guru-guru, yang biasanya lelah setelah mengajar, tiba-tiba menjadi sutradara dadakan. Dengan kamera ponsel di tangan, mereka mengatur posisi, meminta siswa berakting seolah-olah sedang belajar dengan antusias. Skenario sudah disusun rapi. Di sini, tak ada siswa yang mengantuk, tak ada yang sibuk dengan gawai.
 Semua sempurna. Namun, setelah kamera dimatikan? Ah, kembali ke kenyataan. Siswa-siswa yang tadi berakting penuh semangat, langsung sibuk dengan ponsel mereka, sementara guru-guru itu kembali terjebak di antara tumpukan tugas administrasi yang membosankan.
Yang paling menyedihkan, para guru ini (meski tidak seluruhnya) tidak benar-benar sepenuh hati dalam konten yang mereka buat. Mereka tahu, di balik semua polesan kurikulum yang tampak sukses di video, ada rekan-rekan sejawat mereka yang mungkin tengah terpuruk, diintimidasi, bahkan digugat secara hukum. Namun, siapa yang berani bersuara?Â
Di balik keseragaman yang dipaksakan ini, banyak guru yang hanya diam. Ketika ada satu guru yang diperlakukan tidak adil, mereka memilih bungkam, takut kehilangan tunjangan, takut karier mereka terancam. Siapa yang mau repot, bukan?
Ambil contoh sebuah sekolah di pinggiran kota, di mana salah satu guru diseret ke meja hijau karena dianggap melakukan kekerasan karena mendisiplinkan siswa yang tidak mau mengukuti sholat berjamaah! (https://jabar.viva.co.id/news/15861-guru-agama-diseret-ke-meja-hijau-gara-gara-ajak-murid-salat-zuhur).Â
Di luar sana, video-video pembelajaran sekolah terus dipuji-puji sebagai contoh sukses pendidikan. Namun, di dalam sekolah itu sendiri, atmosfernya penuh ketegangan. Bukannya bersatu untuk membela rekan mereka yang terancam dipidana, para guru lebih memilih mengurus video pembelajaran berikutnya, berharap bahwa dengan sibuk membuat konten, masalah-masalah itu akan lenyap begitu saja.
Lebih ironis lagi, banyak dari mereka yang justru saling bersaing dalam pencitraan. Ketika satu guru tampak unggul dalam pembuatan konten, yang lain buru-buru mencari cara untuk membuat video yang lebih bagus. Fokus mereka sudah tak lagi pada bagaimana membuat siswa benar-benar paham pelajaran, melainkan bagaimana mendapatkan apresiasi dari atasan atau program yang akan memberi mereka tunjangan lebih.Â