Mohon tunggu...
AbieLabieba
AbieLabieba Mohon Tunggu... Guru - Belajar sebagai cara hidup

Sekolah Kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kepedulian yang Terserak

20 Oktober 2024   17:27 Diperbarui: 20 Oktober 2024   17:29 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lapangan Upacara Sekolah (Dokpri)

KEPEDULIAN YANG TERSERAK

Oleh : Habiburrahman

Mentari masih malu-malu menyapa, menyelinap dari celah-celah pohon tua yang berdiri tegak di halaman sekolah. Di sudut ruangan, Pak Dirga duduk termangu, menyaksikan murid-muridnya yang tengah sibuk dengan gawai di tangan. Senyum pahit mengembang di wajahnya. Dia menatap sekeliling, menyaksikan ruangan yang dulu penuh dengan tawa riang kini terasa sunyi, bukan karena tak ada suara, tapi karena kesunyian yang berasal dari dalam hati, dari ruang-ruang kosong yang tak terisi perhatian.

Di dekat pintu, Ibu Mira terlihat bersusah payah memindahkan tumpukan buku-buku tebal ke rak. Buku-buku itu tampak usang, seperti menyimpan kisah masa lalu yang terabaikan. Tak ada satu pun siswa yang menoleh, tak ada yang menawarkan bantuan. Mereka sibuk dengan tugas, organisasi, atau sekadar menggulirkan layar ponsel mereka, entah membaca, entah sekadar mencari hiburan.

Pak Dirga tahu, mereka bukan tak pandai. Bahkan, mereka adalah siswa-siswa yang sering kali mendapat penghargaan. Siswa-siswa yang pidato-pidato empatinya selalu menggugah hati di panggung lomba, yang menulis esai penuh rasa tentang kemanusiaan. Tapi ironis, di saat empati itu seharusnya berwujud nyata, mereka seperti kehilangan arah. Kehebatannya seolah hanya bersandar pada kata-kata yang tertulis rapi, namun hilang dalam tindakan sehari-hari.

"Pak, nanti nilai tugasnya bisa diperbaiki, kan?" Seorang murid tiba-tiba mendekat, memecah lamunan Pak Dirga.

"Tentu, asal kamu mau berusaha lebih," jawabnya dengan tenang. Murid itu tersenyum, lalu pergi dengan cepat, kembali ke gawai di tangannya. Begitu saja, tanpa basa-basi, tanpa menoleh ke arah Ibu Mira yang masih bergulat dengan tumpukan buku di belakangnya.

Pak Dirga menarik napas panjang. Sesekali, dia membiarkan pikirannya melayang pada masa lalu, ketika dia masih menjadi murid. Dulu, tak ada teknologi canggih, tak ada tuntutan prestasi yang menggebu-gebu. Tapi ada rasa. Ada kepedulian yang tulus, yang tak perlu diminta, yang lahir dari rasa hormat kepada guru dan orang tua. Saat itu, menjadi pintar tak hanya tentang nilai di atas kertas, tapi juga tentang cara memaknai hidup, tentang bagaimana menjadi manusia seutuhnya.

Hari itu, ada sebuah pertemuan orang tua di sekolah. Para siswa dengan gagah berdiri di pinggir lapangan, menyambut kedatangan orang tua mereka. Pak Dirga melihat dari jendela, menyaksikan satu demi satu orang tua melangkah masuk. Beberapa dari mereka membawa tas besar, sementara anak-anak mereka dengan santai hanya berjalan di belakang, tak ada upaya untuk membantu, tak ada tangan yang terulur.

Dia mengingat masa kecilnya, ketika membantu orang tua adalah bentuk kasih sayang yang sederhana. Saat itu, tak ada piala, tak ada penghargaan, hanya senyuman hangat yang menjadi hadiah paling berharga. Tapi kini, semua terasa jauh berbeda. Anak-anak hari ini tampak lebih memilih diam, menunggu orang tua mereka menyelesaikan segalanya, seolah lupa akan adab dan sopan santun yang dulu begitu diagungkan.

"Mungkin mereka terlalu sibuk menjadi hebat," gumam Pak Dirga pelan. "Sampai lupa, menjadi hebat bukan hanya soal cerdas, tapi juga tentang menjadi manusia."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun