Mohon tunggu...
AbieLabieba
AbieLabieba Mohon Tunggu... Guru - Belajar sebagai cara hidup

Sekolah Kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Kesadaran dalam Kegilaan

9 Oktober 2024   08:01 Diperbarui: 9 Oktober 2024   08:13 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Opini.

KESADARAN DALAM KEGILAAN :
"Menghadapi Otonomi Diri yang Hilang"
Oleh : Habiburrahman

Ada satu fenomena yang kerap terjadi di tengah kehidupan profesional dan sosial kita, namun sering kali luput dari perhatian: kegilaan yang tidak disadari, di mana individu begitu terpesona dengan hal-hal di luar tugas atau perannya sendiri. Kondisi ini menempatkan kita dalam situasi absurd, di mana kita merasa lebih tertarik dengan pekerjaan atau peran orang lain daripada peran yang seharusnya kita emban. Di sinilah letak cacat logika kehidupan, yang menimbulkan pertanyaan penting: Apakah kita benar-benar memahami makna dari menjalankan tugas dan hak-hak kita?

Ketertarikan untuk melenceng dari peran yang diemban bukan sekadar kelalaian, melainkan indikasi dari lemahnya otonomi diri. Banyak dari kita yang, alih-alih mencurahkan dedikasi penuh pada tugas yang diberikan, justru lebih menikmati pekerjaan yang bukan menjadi tanggung jawab kita. Ini adalah kondisi di mana kita kehilangan orientasi diri, dan lebih jauh lagi, kita mengalami "kecelakaan diri", sebuah ironi dalam memahami peran dan tanggung jawab.

Kita sering kali bersikap munafik dalam menjalani tugas: berpura-pura melaksanakan dengan kesungguhan, sementara pikiran dan jiwa kita melayang ke hal-hal yang lebih menyenangkan namun tidak relevan dengan peran kita. Di sinilah lahirnya konsep diri yang tidak otonom. Kita tak lagi mampu mengenal dan menjalankan apa yang benar-benar menjadi bagian dari diri kita. Akibatnya, ada ketimpangan yang terjadi: pekerjaan dilakukan setengah hati, hasil pun setengah makna.

Ketika seseorang mulai tidak serius dalam menjalankan tugasnya, bahkan malas-malasan, maka ia harus bertanya pada dirinya sendiri: Apakah ia berhak atas hak-hak yang dijanjikan dari pekerjaan tersebut? Dapatkah seseorang benar-benar menikmati sesuatu yang pada dasarnya tidak memberikan kenikmatan karena tidak sesuai dengan jati dirinya? Atau lebih ironis lagi, dapatkah kita menginginkan apa yang sebenarnya tidak kita inginkan? Inilah pertanyaan-pertanyaan kritis yang menguji kesadaran kita dalam hidup.

Fenomena ini merupakan salah satu bentuk kegilaan: kegagalan memahami bahwa menjalani peran dengan otonomi diri adalah bentuk penghargaan terhadap kehidupan itu sendiri. Sebaliknya, melarikan diri dari tanggung jawab atau memalingkan fokus kita ke hal-hal yang seharusnya bukan menjadi perhatian kita hanya akan melahirkan kekacauan batin dan cacat logika dalam memaknai hidup. Hidup dalam kejelasan peran dan tanggung jawab adalah jalan untuk mendapatkan hak yang memang pantas kita peroleh. Bukan sekadar mengejar hak tanpa memenuhi tugas.

Maka dari itu, kita perlu mengembalikan kesadaran ini. Menerima dengan ikhlas apa yang menjadi bagian dari peran kita, dan berhenti tergoda untuk menjadi yang lain. Sebab di dalam setiap peran yang kita jalankan dengan serius dan penuh kesungguhan, ada kemuliaan yang hanya bisa ditemukan jika kita benar-benar mengenal dan menghargai diri kita sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun