Bahkan junjungan kita Nabi Muhammad saw. dalam mengemban misi dakwahnya beberapa kali mendapat hinaan juga cercaan hingga sampai mencelakai; Nabi pernah diludahi oleh orang Yahudi, Nabi pernah ditimpah batu hingga berdarah-darah oleh Bangsa Thaif, Nabi juga pernah dilempar seonggok kotoran unta oleh Kaum Kafir Quraisy.
Hinaan akan senantiasa ada sepanjang hayat masih dikandung badan, bahkan sampai mati berkalang tanah hinaan belum hilang. Walaupun berusaha untuk dibuang, ia akan datang tanpa diundang, karena hakikatnya hinaan ada ada pada diri kita, hinaan adalah diri kita sendiri. Sadarkah bahwa dengan dihina maka kita ada?, atau dalam terminologi wong ndesho "Diece Ergo Sum" (saya dihina maka saya ada).
Kita ada karena hinaan-hinaan; Sejak belum adanya kita hinaan telah diterima oleh kedua orang tua kita. Sejak bapak atau ibu kita masih hidup sendiri-sendiri (menjomblo) ia dihina karena belum punya pasangan. Setelah bapak/ibu berjodoh dan diikat dalam tali perkawinan, ia dihina karena belum punya keturunan, belum punya pekerjaan, belum punya kendaraan, dan masih banyak lagi hinaan. Hinaan belum selesai walaupun --katakan-- akhirnya keduanya dapat memenuhi semuanya; dianugerahi momongan, mempunyai pekerjaan dan kendaraan. Orang tua harus bersusah payah mengurus dan merawatnya; Ia harus menyekolahkan anaknya supaya pintar dan berprestasi, ia harus menjaga anaknya agar tumbuh sehat dan bergizi, ia juga harus bisa menjamin masa depan anaknya supaya kelak hidupnya terpandang dan tidak dihina orang.
Sudah selesai sampai di sini?, jawabnya "masih belum ...."
Sekarang kita masih harus meneruskan perjuangan orang tua kita, karena hinaan masih setia menghadang. Hinaan ada dimana-mana; di belakang sana, di samping kiri dan kanan kita, di depan mata atau di sekeliling kita. Namun tak perlu dihindari, karena dia takkan pergi.
Hinaan datang, hadapi dengan lapang. Syukuri (saja) dan nikmati; toh kita bisa mengerti karena dihina; kita bisa bicara karena dihina; kita bisa berjalan karena dihina; kita bisa membaca, kita bisa menulis, kita pintar, kita berhasil, semuanya karena kita dihina; kita ada (hidup) sekarang karena dihina. Jelas hal ini disebutkan dalam Al-Qur'an Surat Al-Mursalaat [77] Ayat 20 yang artinya :
"Bukankah Kami menciptakan kamu dari air yang hina?" (77 : 20).
Dan di Surat As-Sajdah [32] Ayat 8 disebutkan :
Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina. (32 : 8)
So, masihkah merasa terhina bila dihina? masihkan perlu menunjukkan harga diri kalau hinaan datang menerjang. Jargon Mr. Tukul "Hinaan adalah cambuk, Pujian adalah racun" yang sering dilontarkan dalam acara "BEM" kiranya dapat menjadi motivasi.
Hinaan, hadapi dengan sewajarnya!, karena tidak ada orang yang luput dirinya, asalkan masih ambang batas di luar konteks Firman Allah dalam Al-Qur'an Surat Al-Mujaadilah [58] Ayat 27 yang artinya :